"Dan kamu justru membusung dada dan tidak merasa duka, melainkan orang yang melakukan hal itu, telah disingkirkan dari tengah-tengahmu."
Ayat dari surat pertama Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus ini menyoroti sebuah isu serius yang dihadapi oleh gereja mula-mula: penyalahgunaan otoritas dan ketidakpedulian terhadap dosa berat dalam komunitas. Paulus menulis surat ini untuk mengatasi berbagai masalah, termasuk perpecahan, kemurtadan moral, dan kesalahpahaman mengenai karunia rohani. Dalam konteks pasal 5, perhatian utama adalah pada kasus kenajisan seksual yang merajalela dan bagaimana jemaat meresponsnya.
Ayat 1 Korintus 5:1-2 mengungkapkan sebuah situasi di mana seorang anggota jemaat diketahui hidup dalam hubungan yang tidak pantas secara moral, yaitu melakukan hubungan inses (dengan ayah tirinya). Reaksi jemaat terhadap hal ini sangat memprihatinkan. Alih-alih merasa sedih dan mengambil tindakan korektif, mereka justru menjadi sombong dan mengabaikan masalah tersebut. Paulus menyebutkan bahwa mereka "membusung dada", menunjukkan kebanggaan yang tidak pada tempatnya, mungkin karena merasa diri mereka telah mencapai tingkat spiritual tertentu atau karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain.
Perilaku ini sangat bertentangan dengan apa yang diharapkan dari sebuah komunitas yang seharusnya menjadi terang dan garam di dunia. Kenajisan, terutama dalam bentuk yang digambarkan di Korintus, bukanlah hal yang sepele bagi kekristenan. Ajaran Alkitab secara konsisten menekankan pentingnya kekudusan dan memisahkan diri dari dosa. Paulus, dalam surat-suratnya yang lain, sering mengingatkan jemaat akan tanggung jawab mereka untuk hidup sesuai dengan panggilan Kristus, menjauhi segala bentuk kebejatan.
Ayat kedua secara gamblang menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan dosa tersebut seharusnya "telah disingkirkan dari tengah-tengahmu". Ini bukan berarti sebuah hukuman tanpa ampun, melainkan sebuah tindakan disiplin jemaat yang bertujuan untuk mengembalikan orang yang berdosa kepada pertobatan dan menjaga kemurnian tubuh Kristus. Disiplin gereja, ketika diterapkan dengan kasih dan kebenaran, adalah ekspresi kepedulian terhadap individu maupun komunitas.
Ketidakpedulian jemaat terhadap dosa dapat memberikan kesan bahwa perbuatan tersebut dapat ditoleransi dalam komunitas Kristen. Hal ini tidak hanya mencoreng kesaksian gereja di mata dunia, tetapi juga dapat menumbuhkan benih dosa lebih lanjut di dalam jemaat. Paulus mengingatkan bahwa sedikit ragi dapat meragi seluruh adonan (1 Korintus 5:6), yang berarti dosa yang dibiarkan dapat merusak seluruh komunitas.
Kisah ini mengajarkan kita pelajaran berharga tentang pentingnya menegakkan standar moral Kristen dalam kehidupan berjemaat. Kita dipanggil untuk mencintai sesama, tetapi cinta itu haruslah cinta yang benar, yang tidak mengabaikan kebenaran dan kekudusan Allah. Ketika ada anggota jemaat yang jatuh dalam dosa, respons yang seharusnya adalah keprihatinan, doa, dan jika perlu, tindakan disiplin yang dilakukan dengan kasih, sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab. Menyingkirkan orang yang berdosa bukanlah tujuan akhir, melainkan langkah menuju pemulihan mereka dan penjagaan kesehatan rohani seluruh jemaat.
Lebih jauh lagi, ayat ini menjadi pengingat bagi setiap individu untuk tidak hanya menyoroti dosa orang lain, tetapi juga untuk memeriksa diri sendiri. Apakah kita telah menjadi sombong atas pencapaian rohani kita atau mengabaikan kelemahan diri sendiri? Ketaatan pada firman Tuhan dan kesediaan untuk hidup kudus adalah tugas setiap orang percaya. Dengan demikian, jemaat dapat berfungsi sebagai wadah yang sehat, kudus, dan dapat menjadi kesaksian yang kuat bagi dunia.