"Dan setelah ia pergi, seekor singa bertemu dengan dia di jalan, lalu membunuh dia, dan mayatnya tergeletak di jalan, sedang keledainya berdiri di sampingnya; juga singa itu berdiri di samping mayatnya."
Kisah yang tercatat dalam 1 Raja-raja pasal 13 ini adalah sebuah narasi penting yang menggarisbawahi otoritas firman Allah dan bahaya ketidaktaatan, bahkan ketika ada motif yang tampak benar. Ayub, seorang nabi dari Yehuda, diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan nubuat menentang mezbah di Betel, yang didirikan oleh Raja Yerobeam dari Israel. Perintah itu sangat jelas: ia tidak boleh makan atau minum di sana, dan harus kembali melalui jalan yang berbeda.
Ayub melaksanakan tugasnya dengan setia, menyampaikan pesan ilahi kepada Yerobeam. Namun, di tengah perjalanan pulangnya, ia bertemu dengan seorang nabi tua dari Betel yang berbohong kepadanya, mengatakan bahwa ia mendapat perintah dari Allah untuk membawa Ayub kembali ke rumahnya untuk makan dan minum. Terpedaya oleh kebohongan ini, Ayub melanggar perintah Allah yang asli. Peristiwa ini menjadi titik balik yang tragis dalam kisah Ayub.
Ayat 24 dari pasal 13 ini menggambarkan konsekuensi langsung dari ketidaktaatan Ayub. Ketika ia kembali ke rumah nabi tua itu dan makan serta minum, firman Allah datang kepada nabi tua itu, menyatakan bahwa Ayub akan mati karena tidak menaati perintah Allah yang pertama. Nabi tua itu pun kemudian harus melakukan perjalanan untuk mencari Ayub.
Ketika ia menemukan Ayub, ia menyaksikan pemandangan yang mengerikan: seekor singa telah membunuh Ayub dan mayatnya tergeletak di jalan. Yang lebih mencengangkan adalah keledai Ayub tetap berdiri di samping mayatnya, dan singa itu pun tidak menyentuh mayat atau keledainya. Keadaan ini menjadi bukti nyata bahwa Allah tidak mengizinkan firman-Nya disepelekan. Singa itu, yang biasanya memangsa, bertindak sebagai instrumen penghakiman ilahi, namun tidak mengganggu sisa-sisa tubuh yang seharusnya tetap dimuliakan dalam ketaatan.
Kisah 1 Raja-raja 13:24 memberikan beberapa pelajaran rohani yang sangat relevan. Pertama, ini mengingatkan kita akan pentingnya ketaatan yang mutlak kepada firman Allah. Allah memberikan perintah-Nya dengan jelas, dan kita dipanggil untuk menaatinya tanpa keraguan atau kompromi, sekecil apapun perintah itu tampaknya.
Kedua, kisah ini memperingatkan kita tentang bahaya godaan dan kebohongan yang dapat menyesatkan. Setan seringkali menggunakan cara-cara yang halus, bahkan meniru suara rohani, untuk membuat kita menyimpang dari kehendak Allah. Kita perlu kebijaksanaan dan pembedaan roh untuk menguji setiap perkataan dan ajaran agar tidak jatuh ke dalam jebakan.
Ketiga, peristiwa ini menegaskan bahwa Allah adalah Allah yang kudus dan adil. Ia akan meminta pertanggungjawaban atas ketidaktaatan, terutama ketika hal itu berkaitan dengan firman-Nya. Namun, di balik penghakiman, ada panggilan untuk kembali kepada ketaatan. Kisah ini, meskipun tragis, tetap merupakan bagian dari narasi kasih dan keadilan Allah yang memimpin umat-Nya menuju kebenaran.
Di era modern ini, di mana banyak suara dan ajaran bersaing untuk mendapatkan perhatian kita, kita dipanggil untuk berpegang teguh pada Alkitab sebagai standar kebenaran yang tidak berubah. Seperti Ayub, kita mungkin tergoda oleh kenyamanan atau ajaran yang terdengar baik, tetapi firman Allah tetap menjadi panduan utama kita. Ketaatan pada firman-Nya adalah jalan menuju kehidupan yang benar dan berkenan di hadapan-Nya.