"Baasa menjadi raja atas seluruh Yehuda dan Israel di Tirza selama dua puluh empat tahun. Lalu ia mati dan dimakamkan di Tirza, maka naiklah tahta Ela, anaknya, menggantinya."
Ayat 1 Raja-raja 15:33 membawa kita pada sebuah momen krusial dalam sejarah Kerajaan Israel. Kita diperkenalkan pada sosok Baasa, yang memerintah di Tirza, sebuah kota yang pernah menjadi pusat kekuasaan bagi beberapa raja Israel utara. Periode pemerintahannya yang berlangsung selama dua puluh empat tahun menandakan stabilitas relatif, meskipun kita tahu dari konteks kitab ini bahwa ketidakstabilan politik dan keagamaan seringkali menjadi ciri khas masa tersebut.
Kematian Baasa dan penguburannya di Tirza menjadi titik balik. Ini bukanlah sekadar perpindahan kekuasaan biasa, melainkan juga sering kali dibarengi dengan intrik dan perebutan kekuasaan. Dalam narasi Kitab Raja-raja, para raja sering kali dihakimi berdasarkan kesetiaan mereka kepada Tuhan dan pelaksanaan hukum-Nya. Kehidupan dan warisan mereka dinilai dari apakah mereka "melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, berjalan dalam jalan Yerobeam dan dalam dosa yang telah dilakukan Yerobeam, dengan demikian ia membangkitkan murka TUHAN, Allah Israel."
Kutipan ini, meskipun singkat, mengingatkan kita pada siklus yang sering terjadi dalam sejarah bangsa Israel: kepemimpinan yang gagal dalam hal spiritual sering kali berujung pada kehancuran dan pembuangan. Keberlangsungan sebuah kerajaan, baik secara fisik maupun spiritual, sangat bergantung pada kepatuhan terhadap prinsip-prinsip ilahi. Periode pemerintahan Baasa yang panjang, meskipun mungkin membawa ketenangan politik untuk sementara, pada akhirnya akan dinilai oleh Tuhan berdasarkan kualitas rohani kepemimpinannya dan dampaknya bagi umat-Nya.
Pergantian kepemimpinan kepada Ela, anaknya, membuka lembaran baru, namun juga menyimpan potensi kesulitan. Sejarah Israel mengajarkan bahwa suksesi tahta tidak selalu mulus, dan kepemimpinan yang buruk sering kali tidak bertahan lama. Pemahaman tentang ayat ini menjadi penting untuk merenungkan tentang pentingnya integritas kepemimpinan, tanggung jawab moral, dan konsekuensi jangka panjang dari keputusan yang diambil oleh para penguasa, baik dalam konteks zaman itu maupun dalam refleksi kehidupan modern kita.
Fokus pada detail seperti tempat pemakaman (Tirza) dan durasi pemerintahan (dua puluh empat tahun) memberikan warna konkret pada narasi sejarah ini. Namun, pesan utamanya tetaplah mengenai standar ilahi yang diterapkan pada kepemimpinan. Sejarah Kerajaan Israel adalah pengingat abadi bahwa bahkan kerajaan duniawi yang paling kuat sekalipun akan dinilai berdasarkan kesetiaan mereka kepada Sang Pencipta, dan bahwa jalan kebaikan serta keadilan adalah pondasi yang kokoh untuk setiap pemerintahan yang bermaksud baik.