Kisah Ahab, Izebel, Elia, dan Ujian Iman
Pasal 16 dan 17 dari Kitab 1 Raja-Raja membawa kita pada periode kelam dalam sejarah Kerajaan Israel Utara. Setelah serangkaian raja yang tidak setia, tampillah Ahab bin Omri, yang, dalam pandangan penulis kitab suci, "melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, lebih dari semua orang sebelum dia." Ini bukan sekadar penilaian biasa, melainkan sebuah indikasi betapa dalamnya kemerosotan moral dan spiritual bangsa saat itu. Ahab tidak hanya meneruskan kejahatan raja-raja sebelumnya, tetapi ia juga menikahi Izebel, putri Etbaal raja orang Sidon, yang membawa serta penyembahan berhala Baal ke tengah-tengah umat Tuhan.
Pernikahan Ahab dan Izebel menandai dimulainya penganiayaan brutal terhadap nabi-nabi TUHAN. Izebel, dengan kekuasaannya, bertekad memusnahkan semua penyembah TUHAN dan mengangkat para imam Baal sebagai penguasa agama di Israel. Suasana menjadi semakin mencekam. Iman kepada TUHAN diperlakukan sebagai pemberontakan, dan para nabi-Nya diburu untuk dibunuh. Dalam konteks inilah, sosok Nabi Elia muncul sebagai mercusuar harapan, meskipun ia sendiri harus bersembunyi dan mengalami pengasingan.
Bab 17 memperkenalkan ujian dahsyat yang ditimpakan Tuhan atas Israel: kekeringan yang berkepanjangan. Elia, atas perintah Tuhan, diperintahkan untuk pergi ke tepi Sungai Kerit dan bersembunyi di sana. Ia diberi makan oleh burung gagak, sebuah pemandangan yang luar biasa, menunjukkan bahwa bahkan di tempat terpencil pun, tangan Tuhan mampu menyediakan dan melindungi umat-Nya.
Setelah Sungai Kerit mengering, Elia kembali diutus oleh Tuhan, kali ini ke Sarepta, sebuah kota di Sidon. Di sana, ia bertemu dengan seorang janda miskin yang sedang mengumpulkan kayu api untuk membuat makanan terakhirnya bagi dirinya dan anaknya sebelum mereka mati kelaparan. Elia, dengan keberanian yang luar biasa dan keyakinan penuh pada firman Tuhan, meminta janda itu untuk membuat roti terlebih dahulu baginya dari persediaan tepung dan minyak yang hampir habis. Ia berjanji, atas nama TUHAN, bahwa persediaan itu tidak akan habis sampai hari TUHAN menurunkan hujan.
Kisah janda di Sarepta adalah salah satu contoh paling indah dari keajaiban dan kekuatan iman. Janda itu, meski hidup dalam keputusasaan dan keterbatasan, memilih untuk percaya dan taat kepada perkataan nabi Tuhan. Tindakannya adalah sebuah tindakan iman yang luar biasa, mengorbankan apa yang tersisa demi firman Tuhan. Dan Tuhan, dalam kemuliaan-Nya, menjawab iman itu. Guci tepungnya tidak menjadi kosong, dan buyung minyaknya tidak menjadi kering. Persediaan itu terus ada, cukup untuk memberi makan Elia, janda itu, dan anaknya, selama berhari-hari hingga kekeringan berakhir.
Lebih jauh lagi, pasal ini juga mencatat kebangkitan anak janda itu dari kematian setelah ia jatuh sakit. Ini adalah bukti nyata dari kuasa ilahi atas hidup dan mati, yang ditampilkan melalui pelayanan Elia. Kepercayaan janda itu pada TUHAN, yang awalnya hanya sebuah tindakan iman kecil dalam memberikan roti, kini berbuah menjadi pemulihan total atas hidupnya, baik secara fisik maupun spiritual. Bab-bab ini mengingatkan kita bahwa bahkan di masa kegelapan terpekat, ketika penyembahan berhala merajalela dan iman diuji, Tuhan tetap bekerja, menjaga para setia-Nya, dan menunjukkan kuasa-Nya yang tak terbatas bagi mereka yang percaya.