"Ahab bin Omri melakukan kejahatan di mata TUHAN lebih dari semua orang yang mendahuluinya."
Kitab 1 Raja-raja mencatat sejarah para raja Israel dan Yehuda, sebuah narasi yang sering kali penuh dengan kisah kemuliaan, kehancuran, kesetiaan, dan pengkhianatan terhadap Tuhan. Di tengah kisah panjang tersebut, ayat 25 dari pasal 16, ketika merujuk pada Raja Ahab dari Kerajaan Utara Israel, memberikan sebuah penilaian yang sangat tajam dan mengejutkan: "Ahab bin Omri melakukan kejahatan di mata TUHAN lebih dari semua orang yang mendahuluinya." Pernyataan ini bukan sekadar catatan biasa, melainkan sebuah kesaksian tentang kedalaman kerusakan moral dan rohani yang dicapai oleh Ahab, seorang raja yang memerintah pada masa yang penuh gejolak.
Untuk memahami bobot pernyataan ini, kita perlu melihat konteksnya. Ahab menjadi raja di Kerajaan Utara pada saat perpecahan sudah mengakar kuat setelah kematian Salomo. Ia mewarisi takhta dari ayahnya, Omri, yang meskipun diakui berhasil dalam membangun Samaria sebagai ibu kota yang kokoh, namun juga tidak luput dari penyembahan berhala. Namun, Ahab melampaui ayahnya, bahkan melampaui semua raja lain yang pernah memerintah sebelum dia di Israel. Apa yang membuatnya begitu buruk di mata Tuhan?
Dosa utama Ahab yang disebutkan secara spesifik dalam pasal 16 dan bab-bab berikutnya adalah keterlibatannya yang mendalam dalam penyembahan berhala Baal, sebuah kultus asing yang dibawa oleh istrinya, Izebel, putri Raja Et-Baal dari bangsa Sidon. Izebel bukan hanya sekadar seorang istri; ia adalah kekuatan di balik layar yang mempromosikan penyembahan Baal dengan gigih, mendirikan mezbah-mezbah bagi berhala itu di Yerusalem, dan bahkan menganiaya nabi-nabi TUHAN. Ahab, alih-alih menentang istrinya dan melindungi umat Israel dari pengaruh yang merusak, justru tunduk pada kemauannya dan berpartisipasi aktif dalam praktik-praktik penyembahan berhala yang najis.
Perilaku Ahab tidak hanya terbatas pada penyembahan berhala. Kisah Nabot orang Yizreel dalam pasal 21 memberikan gambaran yang mengerikan tentang keserakahan dan ketidakadilan yang ia lakukan. Ketika Ahab menginginkan kebun anggur Nabot yang terletak di sebelah istananya, ia mencoba menawar harga atau menukarnya. Namun, Nabot menolak, karena kebun itu adalah warisan keluarganya. Alih-alih menerima penolakan tersebut dengan hormat, Ahab pulang ke istana dengan murung. Izebel kemudian mengambil inisiatif dengan merencanakan kematian Nabot melalui tuduhan palsu, yang akhirnya membuat Ahab bisa merebut kebun anggur itu. Tindakan ini menunjukkan betapa Ahab rela melanggar hukum Tuhan dan mengorbankan nyawa orang yang tidak bersalah demi kepuasan pribadinya.
Kesombongan, ketidakadilan, dan penolakan terhadap kebenaran ilahi adalah ciri khas pemerintahan Ahab. Ia menutup mata terhadap suara kenabian, bahkan memerintahkan pembunuhan nabi-nabi yang berani menegurnya. Keputusannya untuk tunduk pada tuntutan Izebel dan membiarkan penyembahan Baal merajalela di kerajaannya merupakan pengkhianatan terhadap perjanjian yang telah Tuhan buat dengan umat-Nya. Ia bukan hanya gagal memimpin bangsanya menuju kesetiaan kepada Tuhan, tetapi justru menyeret mereka lebih dalam ke dalam jurang dosa.
Pernyataan bahwa Ahab "melakukan kejahatan di mata TUHAN lebih dari semua orang yang mendahuluinya" adalah sebuah peringatan keras. Ini menunjukkan bahwa kejahatan tidak hanya diukur dari kuantitas, tetapi juga dari kualitas dan kedalaman keterlibatan. Ahab tidak hanya melakukan dosa, tetapi ia menjadikannya gaya hidup, mempromosikannya, dan membiarkannya berkembang biak di bawah pemerintahannya. Kisahnya menjadi pengingat abadi tentang bahaya penolakan terhadap Tuhan dan godaan untuk mengikuti jalan yang mudah namun menyesatkan. Pelajaran dari 1 Raja-raja 16:25 mengajarkan kita tentang pentingnya kesetiaan yang teguh kepada Tuhan, keberanian untuk membela kebenaran, dan bahaya mengikuti para pemimpin yang justru menjauhkan umat dari Sang Pencipta.