1 Raja-Raja 18:23

1 Raja-Raja 18:23
"Suruhlah orang mengumpulkan banteng-banteng kepada paduka, dan biarlah mereka membelah-belahkannya, jangan diberi bumbu, lalu meletakkannya di atas kayu api, tetapi jangan menyalakan api. Aku pun akan membahagiakan banteng yang lain, dan meletakkannya di atas kayu api, dan juga jangan menyalakan api."
Simbol api unggun sederhana dan dua banteng untuk ilustrasi ayat Alkitab

Kisah dalam 1 Raja-Raja 18 ini merupakan salah satu momen paling dramatis dan signifikan dalam sejarah keimanan bangsa Israel. Pertarungan iman antara Nabi Elia melawan nabi-nabi Baal di Gunung Karmel menjadi puncak dari perselisihan yang telah lama terjadi akibat penyembahan berhala yang merajalela di kerajaan Israel Utara. Raja Ahab dan istrinya, Izebel, telah memimpin umat untuk menyembah dewa-dewa asing, menyingkirkan ibadah kepada Allah yang benar. Ini bukan sekadar perselisihan politik atau budaya, melainkan pertarungan fundamental antara kebenaran ilahi dan kepalsuan yang menyesatkan.

Di tengah kondisi yang penuh tekanan dan ancaman, Nabi Elia tampil sebagai representasi dari kesetiaan kepada Tuhan. Permintaannya dalam 1 Raja-Raja 18:23 bukanlah sekadar taktik cerdik, melainkan sebuah undangan yang berani untuk menyaksikan secara langsung siapakah Allah yang sesungguhnya. Ia menantang raja Ahab untuk mengumpulkan seluruh umat Israel beserta empat ratus lima puluh nabi Baal dan empat ratus nabi Asyera di Gunung Karmel. Ini adalah sebuah panggung publik yang disiapkan untuk sebuah demonstrasi ilahi yang tak terbantahkan.

Elia mengusulkan sebuah ujian yang lugas: kedua belah pihak akan menyiapkan persembahan berupa seekor banteng yang dibelah dan diletakkan di atas kayu api. Kunci dari tantangan ini adalah bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang boleh menyalakan api. Api kebenaran dan pengesahan akan datang langsung dari surga. Siapa pun ilah yang mampu menjawab dengan mengirimkan api untuk membakar persembahan, dialah yang akan diakui sebagai Allah yang benar. Tantangan ini sangat berani dan penuh risiko, karena nasib Elia sendiri, dan lebih penting lagi, nasib seluruh umat Israel, bergantung pada hasil ujian ini.

Ayat 1 Raja-Raja 18:23 secara spesifik menggambarkan persiapan yang diminta Elia. Ia memerintahkan agar banteng-banteng dipersiapkan, dibelah, tetapi tidak diberi bumbu atau persiapan lain yang bisa dianggap sebagai cara untuk mempermudah pembakaran. Persembahan ini diletakkan di atas kayu api, namun yang terpenting, tidak boleh ada api yang dinyalakan oleh tangan manusia. Demikian pula, Elia menyatakan bahwa ia akan mempersiapkan bantengnya sendiri dan meletakkannya di atas kayu api tanpa menyalakan api. Ini menunjukkan kesiapannya untuk bergantung sepenuhnya pada campur tangan ilahi. Tidak ada trik, tidak ada muslihat, hanya iman dan penyerahan diri kepada kuasa Tuhan.

Ujian ini menyoroti tema sentral dalam iman Kristen dan Yudaisme: kedaulatan Allah dan keharusan bagi umat-Nya untuk setia hanya kepada-Nya. Di tengah godaan penyembahan berhala, Elia mengingatkan kembali prinsip dasar Perjanjian: "Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" (Ulangan 6:4). Permintaan Elia adalah perwujudan praktis dari perintah ini, sebuah panggilan untuk kembali kepada kesetiaan yang murni kepada satu-satunya Allah yang hidup.

Kisah selanjutnya di Gunung Karmel membuktikan bahwa Allah Israel adalah Allah yang hidup dan berkuasa. Sementara nabi-nabi Baal bersusah payah memanggil ilah mereka sepanjang hari tanpa hasil, ketika Elia berdoa, api dari surga turun dan melahap persembahannya, bahkan air yang dituangkannya. Peristiwa ini menjadi titik balik penting, mengembalikan umat Israel kepada penyembahan yang benar dan menghukum para nabi palsu. 1 Raja-Raja 18:23 bukan hanya sebuah ayat, tetapi sebuah pengingat akan kuasa Allah yang tak tertandingi dan pentingnya keberanian dalam mempertahankan iman di tengah tantangan.