1 Raja-raja 20:41 - Hikmat dalam Perkataan

"Dan ia menjadi sangat marah, lalu ia memukul mukanya dan berkata: 'Terkutuklah orang itu yang berani mengucapkan perkataan itu!'" (1 Raja-raja 20:41)

HIKMAT

Ayat 1 Raja-raja 20:41 ini membawa kita pada sebuah momen dramatis dalam interaksi antara raja Israel, Ahab, dan seorang nabi. Konteksnya adalah setelah kemenangan besar raja Ahab melawan Aram di Samaria. Para nabi datang kepada Ahab dan menyarankan agar ia terus menekan musuhnya yang telah kalah. Namun, di antara perkataan-perkataan para nabi itu, ada satu suara yang berbeda, sebuah perkataan yang menusuk telinga raja. Perkataan tersebut adalah teguran keras yang disampaikan oleh seorang nabi kepada Ahab, menyoroti kesalahannya dalam membiarkan Benhadad, raja Aram, hidup setelah pertempuran.

Reaksi Ahab terhadap perkataan nabi ini sungguh luar biasa. Ia "menjadi sangat marah, lalu ia memukul mukanya dan berkata: 'Terkutuklah orang itu yang berani mengucapkan perkataan itu!'" Kemarahan yang meluap ini menunjukkan betapa Ahab tidak siap menerima kritik atau kebenaran yang menyakitkan. Ia lebih memilih untuk menutup telinga terhadap suara kenabian yang bertujuan untuk membimbing dan mengoreksi, daripada merangkulnya sebagai hikmat yang datang dari Tuhan. Sikap ini mencerminkan keengganan manusia untuk menghadapi kelemahan diri dan kesalahan, serta kecenderungan untuk mencari pembenaran atas tindakan yang keliru.

Pelajaran dari Reaksi Ahab

Kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya sikap hati yang terbuka terhadap kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu datang dalam bentuk teguran atau nasihat yang tidak menyenangkan. Ahab menganggap perkataan nabi itu sebagai sebuah ancaman atau penghinaan, bukan sebagai panggilan untuk introspeksi. Kemarahannya membutakan matanya terhadap kebenaran yang disampaikan, dan malah berfokus pada keberanian si nabi untuk berbicara. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada situasi yang serupa. Kita mungkin merasa kesal ketika pendapat kita dikritik, atau ketika seseorang menunjukkan kekurangan kita. Namun, penting untuk diingat bahwa kritik yang konstruktif, yang disampaikan dengan kasih dan tujuan untuk kebaikan, adalah sebuah anugerah.

Hikmat yang sejati seringkali tidak datang dalam bentuk pujian, melainkan dalam bentuk kebenaran yang membongkar kebohongan diri. Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak menjadi seperti Ahab yang terperangkap dalam kemarahan dan penolakan. Sebaliknya, kita diajak untuk merenungkan perkataan yang disampaikan, mencari tahu apakah ada kebenaran di dalamnya, dan belajar untuk menerima bimbingan yang diberikan. Kemarahan Ahab adalah gambaran nyata bagaimana sikap defensif dapat menghalangi pertumbuhan rohani dan moral. Ia memilih untuk mengutuk pembawa pesan daripada merenungkan pesan itu sendiri.

Firman Tuhan dalam Amsal 15:32 menyatakan, "Siapa mengabaikan didikan, ia menghina dirinya sendiri, tetapi siapa mendengarkan teguran, ia beroleh pengertian." Ahab jelas telah mengabaikan didikan yang diberikan oleh nabi tersebut, dan akibatnya adalah penolakannya terhadap hikmat ilahi. Mari kita renungkan, seberapa sering kita bereaksi seperti Ahab ketika dihadapkan pada kebenaran yang tidak nyaman? Apakah kita menjadi marah, defensif, atau bahkan berusaha menjauhi orang yang menyampaikannya?

Pada akhirnya, kisah 1 Raja-raja 20:41 adalah sebuah pengingat yang kuat. Kebenaran, meskipun terkadang pedih, adalah jalan menuju pemahaman yang lebih dalam, pertumbuhan yang lebih baik, dan hubungan yang lebih tulus dengan Tuhan dan sesama. Alih-alih mengutuk orang yang berbicara kebenaran, marilah kita belajar membuka hati untuk menerima hikmatnya, agar kita tidak terjerumus dalam kesombongan dan kemarahan yang membutakan, seperti yang dialami oleh raja Ahab.