"Lalu bertanyalah orang itu kepada Mikha: "Bolehkah kami berbicara kepadamu, ya nabi? Apa yang hendak kau katakan akan kami katakan kepada raja.""
Ayat ini dari Kitab 1 Raja-raja pasal 22, ayat 13, membawa kita pada sebuah momen krusial dalam narasi kepemimpinan raja Ahab dari Israel. Di tengah ketegangan politik dan kebingungan rohani, sebuah pertemuan antara nabi dan utusan raja ini menyingkapkan lebih dari sekadar dialog. Ayat ini menjadi jendela untuk memahami dinamika antara otoritas, kebenaran ilahi, dan keraguan manusia. Ketika raja Ahab berhadapan dengan tantangan strategis, yaitu apakah akan maju berperang melawan Ramot-Gilead atau tidak, ia mencari nasihat dari para nabi. Namun, kebiasaan yang terjadi adalah para nabi ini cenderung memberikan jawaban yang menyenangkan hati raja, bukan kebenaran sejati.
Dalam konteks ini, muncul sosok nabi Mikha bin Yimla. Kehadirannya membawa warna yang berbeda. Para utusan raja, yang mungkin sudah terbiasa dengan gaya "nabi profesional" yang selalu searah dengan keinginan raja, berusaha "menguji" Mikha terlebih dahulu. Pertanyaan mereka, "Bolehkah kami berbicara kepadamu, ya nabi? Apa yang hendak kau katakan akan kami katakan kepada raja," adalah sebuah upaya untuk memastikan bahwa jawaban Mikha akan sejalan dengan para nabi lainnya. Mereka ingin memastikan kepastian, bukan kebenaran yang berpotensi meresahkan. Ini adalah inti dari keraguan yang mereka rasakan. Mereka ingin Mikha berbicara apa yang *ingin* mereka dengar, dan yang *ingin* raja dengar.
Perilaku para utusan ini mencerminkan sebuah pola yang seringkali terjadi dalam kehidupan. Ketika kita dihadapkan pada informasi yang bertentangan dengan keinginan atau keyakinan kita, ada kecenderungan alami untuk mencari pembenaran atas apa yang sudah kita yakini atau inginkan. Mereka tidak mencari kebenaran objektif, melainkan validasi yang akan memperkuat posisi Ahab. Ini adalah godaan untuk memutarbalikkan fakta atau memilih nabi yang tepat yang akan mengatakan apa yang diinginkan.
Ayat ini juga mengajarkan tentang pentingnya keberanian dalam menyampaikan kebenaran. Nabi Mikha, meskipun menghadapi tekanan dari para utusan dan kemungkinan ancaman dari raja, pada akhirnya akan berbicara dengan jujur sesuai dengan apa yang Tuhan firmankan. Ia tidak terintimidasi oleh popularitas para nabi lain yang "sepakat" dengan raja, maupun oleh keinginan pragmatis para utusan. Perkataan Mikha kemudian terbukti benar, membawa konsekuensi yang pahit bagi Ahab. Kisah ini menjadi pengingat bahwa kebenaran seringkali tidak populer, namun ia tetaplah kebenaran. Mengabaikan kebenaran demi kenyamanan atau popularitas adalah sebuah jebakan yang dapat membawa pada kehancuran.
Dalam dunia modern yang penuh dengan informasi yang beragam, ayat ini mengajak kita untuk introspeksi. Apakah kita seperti para utusan raja, yang lebih mencari konfirmasi atas pandangan kita sendiri daripada kebenaran yang murni? Apakah kita cukup berani untuk mendengarkan dan menerima kebenaran, meskipun itu mungkin tidak sesuai dengan keinginan kita? Pertanyaan ini menjadi relevan bagi setiap individu yang mencari pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan tujuan ilahi.