1 Raja-raja 22:7 - Nubuat Nabi Gad

"Berkatalah Ahab kepada Yusuf: "Masih adakah di sini seorang lagi yang dapat kita tanyai firman TUHAN? Dari dia kita dapat mendengar." Jawab raja Israel: "Masih ada seorang lagi, yakni Mikha bin Yimla, tetapi aku membencinya, sebab ia tidak menubuatkan yang baik tentang aku, melainkan selalu yang buruk. Tetapi kata Yusuf: "Janganlah raja berkata demikian."

Kisah dalam 1 Raja-raja 22:7 membuka jendela penting ke dalam dinamika spiritual dan politik di kerajaan Israel pada masa Raja Ahab. Ayat ini, meskipun singkat, memuat makna mendalam tentang ketidakpercayaan raja terhadap firman Tuhan yang murni dan kecenderungannya mencari nabi-nabi yang menyenangkan telinganya. Dalam konteks ini, Nabi Gad muncul sebagai sosok profetik yang harus berhadapan dengan penolakan dan ketidaknyamanan raja.

Raja Ahab, dalam upayanya untuk mendapatkan kepastian mengenai rencana penyerangan ke Ramot-Gilead, telah mengumpulkan empat ratus nabi. Para nabi ini dengan serempak memberikan nasihat yang menyenangkan hati Ahab, menjanjikan kemenangan dan keberhasilan. Namun, di balik kemegahan dan persetujuan para nabi tersebut, tersembunyi sebuah kebenaran yang pahit yang tidak ingin didengar oleh Ahab. Ia merasa ada sesuatu yang kurang, sebuah "suara" lain yang mungkin bisa memberikan gambaran yang lebih otentik, meskipun ia sendiri sudah menduga suara itu akan membawa kabar buruk.

Firman Kebenaran Bujukan Penolakan

Di sinilah kita melihat sosok Nabi Mikha bin Yimla, yang disebut sebagai "masih ada seorang lagi". Ahab mengakui bahwa Mikha dapat memberikan firman Tuhan, namun ia dengan tegas menyatakan kebenciannya terhadap nabi tersebut karena "ia tidak menubuatkan yang baik tentang aku, melainkan selalu yang buruk". Pernyataan ini mengungkapkan inti masalahnya: Ahab tidak mencari kebenaran dari Tuhan, melainkan kesaksian yang mengkonfirmasi keinginan dan prasangkanya sendiri. Ia ingin mendengar apa yang ia ingin dengar, bukan apa yang Tuhan ingin katakan.

Tindakan Ahab untuk menolak Mikha menunjukkan betapa berbahayanya kesombongan rohani dan ketidakmauan untuk menerima kebenaran yang mungkin tidak menyenangkan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada pilihan serupa. Apakah kita akan terbuka untuk menerima teguran atau nasihat yang mungkin sulit, namun membawa kebaikan jangka panjang, ataukah kita akan cenderung pada "nabi-nabi" yang hanya memberikan validasi dan pujian semu, yang pada akhirnya menyesatkan?

Ayat ini juga mengingatkan kita akan pentingnya mencari sumber kebenaran yang otentik. Seperti raja yang seharusnya mencari firman TUHAN, kita pun dipanggil untuk menguji setiap perkataan dan nasihat berdasarkan Firman Tuhan yang sejati. Nabi Gad, yang disebutkan sebelumnya, kemungkinan adalah perwakilan dari suara kenabian yang setia meskipun tidak populer, seorang utusan Tuhan yang berani menyampaikan pesan ilahi tanpa kompromi. Kisah ini menjadi pelajaran abadi tentang integritas rohani, keberanian berkata benar, dan bahaya mendengarkan kebohongan yang manis.

Menariknya, dalam dialog tersebut, Yusuf mencoba menengahi dengan berkata, "Janganlah raja berkata demikian." Ini menunjukkan bahwa bahkan di tengah lingkaran kekuasaan, ada individu yang menyadari ketidaktepatan tindakan raja, meskipun mereka mungkin tidak memiliki otoritas untuk mengubah keputusan secara langsung. Namun, fokus utama tetap pada penolakan Ahab terhadap kebenaran yang disampaikan oleh Mikha, yang pada akhirnya akan membawa konsekuensi tragis.

Pada akhirnya, 1 Raja-raja 22:7 lebih dari sekadar catatan sejarah; ia adalah sebuah pengingat yang kuat tentang pentingnya kerendahan hati, kejujuran, dan ketaatan dalam menghadapi kebenaran ilahi. Kisah ini mengundang refleksi pribadi kita tentang bagaimana kita merespons firman Tuhan dalam kehidupan kita, apakah kita memilih jalan kebenaran yang mungkin sulit, atau jalan kemudahan yang berujung pada kehancuran.