Ayat dari Surat Pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Tesalonika, pasal 2 ayat 5, memberikan pencerahan mendalam tentang integritas dan kemurnian hati para pelayan Tuhan dalam memberitakan Injil. Pernyataan ini bukan sekadar pengakuan pribadi, melainkan sebuah prinsip mendasar yang seharusnya menjadi pedoman bagi setiap penginjil, gembala, atau siapapun yang dipercayakan tugas pelayanan rohani.
Dalam konteks sosial dan religius pada masa itu, seperti halnya pada masa kini, godaan untuk menggunakan pelayanan sebagai sarana untuk keuntungan pribadi atau untuk mencari muka di hadapan manusia sangatlah besar. Ada berbagai cara orang bisa menyalahgunakan otoritas atau kepercayaan yang diberikan. Penyanjung yang licik, misalnya, adalah orang yang pandai merangkai kata-kata manis dan pujian palsu untuk mendapatkan simpati, dukungan, atau bahkan keuntungan materi. Mereka beroperasi dengan kepalsuan, menutupi niat sebenarnya di balik penampilan yang menawan. Tujuan mereka seringkali adalah untuk menarik perhatian, membangun popularitas semu, atau sekadar menyenangkan telinga orang lain agar mendapatkan sesuatu dari mereka.
Paulus menegaskan bahwa dirinya dan rekan-rekannya tidak pernah terlibat dalam praktik semacam itu. Mereka tidak pernah menggunakan kepandaian berbicara atau kemampuan merayu untuk memanipulasi orang lain demi kepentingan diri sendiri. Komitmen mereka adalah untuk kebenaran Firman Tuhan, bukan untuk kepalsuan atau kelicikan yang hanya bersifat sementara.
Lebih lanjut, Paulus menyebutkan "orang yang tamak menipu." Ini merujuk pada individu yang didorong oleh keserakahan, keinginan yang tak terpuaskan akan harta benda atau kekuasaan. Mereka bisa saja menggunakan dalih pelayanan untuk menarik sumbangan, meminta dukungan finansial secara berlebihan, atau memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang tidak pantas. Penipuan yang mereka lakukan bisa bersifat halus maupun terang-terangan, namun intinya adalah mengutamakan hasrat duniawi di atas prinsip-prinsip rohani.
Menariknya, Paulus tidak hanya menyatakan hal ini kepada jemaat Tesalonika, tetapi ia juga menjadikan Allah sebagai saksi. Frasa "sebab Allah adalah saksi kami" menunjukkan keseriusan dan keyakinan mutlak Paulus akan kejujurannya. Ia tidak takut dihakimi oleh manusia, karena ia tahu bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk isi hati dan motivasi terdalamnya. Ini adalah penegasan bahwa integritas mereka telah teruji di hadapan Sang Pencipta, bukan sekadar di hadapan manusia yang bisa terpedaya oleh penampilan luar.
Pentingnya Integritas dalam Pelayanan
Ajaran ini sangat relevan bagi gereja dan setiap individu yang terlibat dalam pelayanan Kristus. Pelayanan seharusnya berakar pada kasih yang tulus kepada Tuhan dan sesama, serta didasari oleh kebenaran Firman-Nya. Menggunakan pelayanan sebagai alat untuk menipu, memanipulasi, atau mencari keuntungan pribadi adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan Kristus dan merusak kesaksian Kristus di dunia. Sebaliknya, kejujuran, ketulusan, dan integritas menjadi pondasi yang kokoh untuk membangun jemaat yang sehat dan kuat, yang bertumbuh dalam iman dan kasih.
Para pelayan Tuhan dipanggil untuk menjadi teladan dalam segala hal, termasuk dalam cara hidup dan motivasi mereka. Ketaatan pada prinsip "tidak ada penyanjung yang licik, tidak ada orang yang tamak menipu" adalah cerminan dari iman yang teguh dan komitmen total kepada Kristus. Dengan menjadikan Allah sebagai saksi atas setiap tindakan dan perkataan, para pelayan dapat memberikan dampak positif yang abadi bagi Kerajaan Allah dan memuliakan nama-Nya di bumi.
Integritas adalah fondasi yang kokoh dalam pertumbuhan rohani dan pelayanan.
Dalam dunia yang seringkali dipenuhi kepalsuan dan kepentingan pribadi, kesaksian hidup para pelayan yang jujur dan tulus menjadi mercusuar harapan. Semangat 1 Tesalonika 2:5 mengingatkan kita untuk terus memeriksa hati, memurnikan motivasi, dan hidup dalam kebenaran di hadapan Allah, sehingga pelayanan kita dapat sungguh-sungguh membawa terang dan kehidupan bagi banyak orang.