"Hizkia menjadi raja ketika ia berumur dua puluh lima tahun, dan ia memerintah sembilan puluh sembilan tahun di Yerusalem. Nama ibunya ialah Abia, anak Zakharia."
Ilustrasi: Simbol pemulihan dan iman di Yerusalem.
Ayat pembuka dalam pasal 30 Kitab 2 Tawarikh ini, yaitu 2 Tawarikh 30:1, memberikan pengantar krusial mengenai pribadi Raja Hizkia dan awal masa pemerintahannya. Hizkia, yang naik takhta pada usia yang relatif muda, 25 tahun, mewarisi sebuah kerajaan, Yehuda, yang telah lama terpengaruh oleh kemerosotan rohani dan penyembahan berhala. Periode sebelum Hizkia, terutama masa pemerintahan ayahnya, Raja Ahas, dikenal sebagai masa kegelapan spiritual yang mendalam. Bait Allah ditutup, mezbah-mezbah berhala didirikan di setiap sudut kota Yerusalem, dan umat Tuhan semakin menjauh dari perjanjian mereka dengan Allah. Kematian Ahas dan naiknya Hizkia menandai titik balik yang signifikan. Ayat ini juga mencatat bahwa Hizkia memerintah selama 99 tahun di Yerusalem, sebuah periode pemerintahan yang sangat panjang dan berpengaruh, serta menyebutkan nama ibunya, Abia, anak Zakharia, yang mungkin memberikan petunjuk tentang garis keturunan atau pengaruh spiritual dalam keluarganya.
Meskipun 2 Tawarikh 30:1 hanya sekadar perkenalan, konteks yang mengikutinya sangatlah penting. Ayat ini menjadi fondasi bagi tindakan-tindakan Hizkia yang luar biasa. Begitu ia mengambil alih kekuasaan, semangat untuk memulihkan ibadah yang benar kepada TUHAN langsung membara dalam hatinya. Ia tidak membuang waktu. Keadaan Yehuda yang memprihatinkan, baik secara moral maupun spiritual, tidak membuatnya gentar. Sebaliknya, hal itu memicunya untuk bertindak dengan keberanian yang luar biasa. Ia segera memerintahkan agar pintu-pintu Bait Suci yang telah lama tertutup dibuka kembali. Ini adalah langkah simbolis yang kuat, menunjukkan tekadnya untuk mengembalikan umat kepada hadirat Allah.
Lebih dari sekadar membuka pintu Bait Allah, Hizkia juga menginisiasi sebuah gerakan pemurnian dan pemulihan yang menyeluruh. Ia mengumpulkan para imam dan orang Lewi, dan dengan tegas menyatakan visinya: untuk menguduskan kembali Bait TUHAN dan mengembalikan ibadah yang sesuai dengan ketetapan Taurat Musa. Ini bukanlah tugas yang mudah. Bertahun-tahun kelalaian dan penyembahan berhala telah meninggalkan jejak yang dalam. Banyak benda-benda yang najis harus disingkirkan, dan banyak praktik yang menyimpang harus dihentikan. Hizkia tidak hanya memerintah dari singgasananya, tetapi ia memimpin dengan contoh. Ia sendiri mengambil inisiatif untuk membersihkan Bait Suci dan memulihkan tata cara ibadah yang seharusnya. Upayanya ini menunjukkan kepemimpinan yang proaktif dan komitmen yang tulus kepada Allah.
Salah satu tindakan paling signifikan yang dilakukan Hizkia adalah memutuskan untuk merayakan Paskah. Namun, ada satu kendala: banyak dari umat yang tidak sempat menguduskan diri untuk merayakannya pada waktu yang ditentukan, yaitu pada bulan pertama (Nisan). Alih-alih membatalkan perayaan, Hizkia, dengan kebijaksanaan yang dianugerahkan Allah, mengizinkan mereka yang belum siap untuk merayakannya pada bulan kedua (Iyar). Keputusan ini menunjukkan bahwa pemulihan sejati melibatkan kasih karunia dan pengertian, sambil tetap memegang teguh prinsip-prinsip kesucian. Perayaan Paskah yang dipimpin oleh Hizkia ini menjadi peristiwa yang sangat besar dan penuh sukacita, mengingatkan umat akan pembebasan mereka dari perbudakan di Mesir dan perjanjian Allah dengan mereka. Ribuan korban hewan dipersembahkan, dan pujian serta ibadah memenuhi Yerusalem. Ayat-ayat selanjutnya dalam pasal ini menggambarkan sukacita dan pemulihan yang luar biasa yang dialami oleh umat Israel karena ketaatan dan kepemimpinan Hizkia. Kisah Hizkia, yang dimulai dengan 2 Tawarikh 30:1, menjadi teladan kepemimpinan yang berfokus pada pemulihan rohani dan ketaatan kepada Tuhan.