"Bukan karena kami berkuasa atas imanmu, tetapi kami adalah pelayan-pelayan untuk kesukaanmu."
Ayat ini, yang terambil dari Surat Paulus yang Kedua kepada Jemaat di Korintus pasal 1 ayat 24, menyimpan makna mendalam tentang natur pelayanan Kristen. Paulus, dalam konteks pelayanannya kepada jemaat, menegaskan sebuah prinsip fundamental: kuasa bukanlah alat utama dalam pelayanan rohani, melainkan semangat melayani untuk mendatangkan kebahagiaan atau "kesukaan" bagi mereka yang dilayani. Penekanan ini sangat penting, karena seringkali ada godaan dalam pelayanan untuk mencari pengaruh, dominasi, atau bahkan kekuasaan atas orang lain. Namun, Paulus dengan tegas menolak pola pikir tersebut.
Frasa "Bukan karena kami berkuasa atas imanmu" menunjukkan bahwa iman seseorang adalah wilayah pribadi yang tidak bisa dipaksakan atau dikendalikan oleh orang lain, bahkan oleh hamba Tuhan sekalipun. Iman adalah respons hati dan pikiran seseorang terhadap kebenaran ilahi, sebuah anugerah yang perlu dipupuk dan dijaga. Pelayan yang sejati tidak akan pernah mencoba untuk mendikte atau memanipulasi keyakinan orang lain. Sebaliknya, tugas mereka adalah untuk menabur benih kebenaran, memberikan teladan yang baik, dan membimbing dengan kasih.
Kemudian, Paulus melanjutkan dengan kalimat yang menggambarkan esensi pelayanannya: "tetapi kami adalah pelayan-pelayan untuk kesukaanmu." Ini adalah pernyataan misi yang altruistik. Tujuan utama pelayanan Paulus bukanlah untuk meningkatkan statusnya sendiri, mendapatkan pujian, atau membangun kerajaan pribadi. Tujuannya adalah untuk melihat jemaat berkembang, bersukacita dalam iman mereka, dan mengalami kebenaran Kristus dalam kehidupan sehari-hari. "Kesukaanmu" di sini bisa diartikan sebagai kebahagiaan rohani, kedamaian dalam Kristus, pertumbuhan dalam karakter Kristus, dan pemahaman yang lebih dalam tentang kehendak Tuhan.
Implikasi dari ayat ini sangat relevan bagi setiap orang yang terlibat dalam pelayanan, baik itu pelayanan formal di gereja maupun pelayanan informal dalam hubungan sehari-hari. Ini mengingatkan kita untuk selalu memeriksa motivasi hati kita. Apakah kita melayani karena ingin diakui, atau karena kita benar-benar peduli pada kesejahteraan rohani dan emosional orang lain? Pelayanan yang berpusat pada diri sendiri akan cepat terasa hampa dan tidak berdaya. Namun, pelayanan yang tulus dan berfokus pada kebaikan orang lain akan mendatangkan kepuasan yang mendalam dan, yang terpenting, mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.
Paulus dan rekan-rekannya di Korintus tidak mengklaim memiliki otoritas absolut atas keyakinan individu. Sebaliknya, mereka menempatkan diri sebagai partner dalam perjalanan iman, dengan kerendahan hati dan keinginan yang tulus untuk melihat orang lain bertumbuh dan bersukacita. Mereka adalah agen dari kebaikan ilahi, yang bertugas untuk memfasilitasi hubungan yang lebih baik antara setiap individu dengan Allah, dan antara sesama. Dalam konteks ini, "kesukaan" yang mereka upayakan bukanlah kesukaan yang dangkal atau sementara, melainkan sukacita yang berakar pada kebenaran, pengharapan, dan kasih karunia Allah.
Untuk mencapai "kesukaan" ini, pelayan haruslah pribadi yang bisa dipercaya. Kepercayaan dibangun melalui integritas, konsistensi antara perkataan dan perbuatan, serta kepedulian yang otentik. Ketika jemaat merasa bahwa para pelayan benar-benar ada untuk mereka, bukan untuk diri sendiri, maka rasa percaya akan tumbuh. Kepercayaan inilah yang menjadi fondasi kuat bagi pelayanan yang efektif dan berkelanjutan, di mana iman dapat bertumbuh subur di bawah bimbingan yang penuh kasih dan tanpa paksaan.