Kisah yang dicatat dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, khususnya ayat 11:33, menawarkan sebuah gambaran dramatis tentang keberanian, kecerdikan, dan penyerahan diri yang luar biasa di tengah ancaman bahaya yang nyata. Ayat ini secara ringkas menceritakan sebuah peristiwa spesifik yang dialami Paulus di kota Damsyik, di mana ia berhasil lolos dari upaya penangkapannya berkat bantuan dari orang-orang yang peduli kepadanya. Peristiwa ini bukan sekadar sebuah insiden kecil dalam perjalanan pelayanan Paulus, melainkan sebuah testimoni kuat tentang keyakinan imannya yang teguh bahkan ketika dihadapkan pada situasi hidup dan mati.
Paulus, yang sebelumnya dikenal sebagai Saulus dari Tarsus, adalah seorang tokoh sentral dalam penyebaran ajaran Kristen. Perubahannya yang drastis setelah pertemuannya dengan Tuhan di jalan menuju Damsyik membuatnya menjadi rasul yang gigih memberitakan Injil. Namun, perubahan ini juga menempatkannya sebagai target utama bagi para pemimpin agama Yahudi yang menentang ajaran Kristen. Damsyik, sebuah kota penting di Suriah, menjadi lokasi krusial dalam kehidupan awal Paulus pasca pertobatannya.
Dalam ayat ini, Paulus menyebutkan bahwa "wali kota di bawah raja Aretas menyuruh menjaga kota itu, untuk menangkap saya." Ini menunjukkan adanya otoritas lokal yang aktif berupaya mencarinya. Raja Aretas IV, penguasa Kerajaan Nabatea pada masa itu, memiliki pengaruh di wilayah Damsyik. Upaya penangkapan ini tentu bukan tanpa alasan; Paulus dianggap sebagai ancaman terhadap tatanan agama dan sosial yang ada. Penangkapan ini kemungkinan besar bertujuan untuk menghentikan kerasulannya dan menghakiminya sesuai hukum yang berlaku.
Namun, yang membuat kisah ini luar biasa adalah bagaimana Paulus berhasil lolos. Tradisi dan catatan sejarah, yang tidak sepenuhnya detail dalam ayat ini tetapi dapat dikaitkan dengan kisah dalam Kisah Para Rasul pasal 9, menceritakan bahwa jemaat di Damsyik memainkan peran penting. Mereka mengetahui rencana penangkapan tersebut dan dengan penuh risiko, membantu Paulus melarikan diri. Caranya adalah dengan menurunkan Paulus dari tembok kota dalam sebuah keranjang pada malam hari. Tindakan ini membutuhkan keberanian luar biasa dari para penolongnya, karena mereka sendiri berisiko menghadapi hukuman jika ketahuan membantu seorang buronan.
Ayat ini, meskipun singkat, kaya akan makna. Pertama, ia menunjukkan betapa berbahayanya pelayanan Paulus. Ia tidak hanya menghadapi penolakan, tetapi juga ancaman fisik yang nyata dan terorganisir. Kedua, ayat ini menyoroti pentingnya komunitas iman. Di saat paling rentan, Paulus tidak sendirian. Ada orang-orang percaya di Damsyik yang siap mempertaruhkan segalanya demi keselamatannya. Dukungan dan perlindungan dari sesama saudara seiman adalah sumber kekuatan yang tak ternilai.
Ketiga, cara pelarian Paulus, yaitu melalui tembok kota dengan keranjang, seringkali diinterpretasikan sebagai simbol penyerahan diri total kepada kehendak Tuhan. Paulus tidak melawan balik dengan kekerasan atau menggunakan kekuatannya sendiri untuk membela diri. Ia mempercayakan hidupnya pada tangan Tuhan, yang bekerja melalui umat-Nya. Ini adalah pelajaran berharga tentang bagaimana menghadapi penganiayaan dengan iman dan kepercayaan, bukan dengan kekuatan manusiawi semata.
Kisah 2 Korintus 11:33 mengingatkan kita bahwa iman seringkali diuji dalam situasi yang paling sulit. Namun, di tengah kesulitan itu, kasih Tuhan terus dinyatakan, seringkali melalui kepedulian orang-orang di sekitar kita. Keberanian Paulus untuk terus maju dalam pelayanannya, meskipun menghadapi bahaya, adalah inspirasi bagi banyak orang hingga kini. Ia membuktikan bahwa bahkan ketika dunia berkonspirasi untuk menjatuhkannya, kuasa Tuhan yang menyelamatkan lebih besar dari segala ancaman.