Ayat 2 Korintus 12:3 adalah bagian dari narasi yang menarik di mana Rasul Paulus menceritakan tentang pengalaman-pengalaman luar biasa yang telah ia alami sebagai hamba Tuhan. Namun, yang membuat ayat ini begitu signifikan adalah cara Paulus membingkainya. Ia berbicara tentang "seseorang" yang dibawa ke Firdaus dan mendengar perkataan-perkataan yang tidak terkatakan, yang tidak diperbolehkan diutarakan oleh manusia. Ketidakpastian mengenai apakah pengalaman itu terjadi dalam tubuh atau di luar tubuh menunjukkan betapa ajaibnya dan di luar jangkauan pemahaman manusiawi.
Dalam konteks yang lebih luas dari pasal 12 kitab 2 Korintus, Paulus tampaknya menggunakan kisah ini untuk membahas masalah kesombongan dan kebanggaan yang mungkin muncul dari pencapaian atau karunia rohani yang besar. Ia mengawali dengan menceritakan pengalaman luar biasa ini, sebuah pengalaman yang jelas menunjukkan betapa ia dikasihi dan diberkati oleh Tuhan. Namun, ia tidak berhenti di situ. Untuk mencegah agar ia tidak menjadi terlalu sombong karena pengalaman yang luar biasa itu, Allah memberinya "duri dalam daging", sebuah "malaikat Setan" untuk menggocohnya.
Ayat 2 Korintus 12:3 berfungsi sebagai pengantar menuju pengingat krusial tentang kerendahan hati. Paulus tidak ingin jemaat Korintus, atau siapapun, memuliakan dia karena karunia atau pengalaman rohaninya. Sebaliknya, ia ingin agar mereka memuliakan Tuhan yang berkuasa. Pesannya adalah bahwa bahkan dalam menghadapi pengalaman rohani yang paling tinggi sekalipun, seorang percaya harus tetap membumi, menyadari keterbatasannya, dan senantiasa bergantung pada kasih karunia Tuhan.
Pengalaman Paulus ini memberikan pelajaran berharga bagi kita di era modern. Seringkali, kita cenderung membandingkan diri dengan orang lain berdasarkan kesuksesan, pencapaian, atau bahkan demonstrasi "iman" yang terlihat. Namun, Tuhan melihat hati. Pengalaman rohani yang paling mendalam mungkin bukanlah sesuatu yang bisa dipamerkan atau diukur secara kasat mata. Justru, dalam kelemahan dan keterbatasan kitalah kuasa Tuhan seringkali dinyatakan paling sempurna. Paulus sendiri berkata dalam ayat berikutnya (12:9), "Karena kelemahanlah aku beroleh kekuatan dalam kelemahan."
Jadi, ketika kita merenungkan 2 Korintus 12:3, kita diingatkan bahwa pengalaman spiritual yang sejati seringkali bersifat pribadi dan tidak selalu dapat dijelaskan sepenuhnya. Yang terpenting adalah bagaimana kita merespons berkat-berkat Tuhan – dengan kerendahan hati, rasa syukur, dan kesadaran bahwa semua itu datang dari Dia. Ini adalah panggilan untuk terus mencari hubungan yang otentik dengan Tuhan, bukan sekadar pameran pencapaian rohani, dan untuk menemukan kekuatan dalam kelemahan kita, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasul Paulus.
Rasa syukur atas segala pemberian Tuhan, termasuk karunia-karunia rohani, adalah respons yang tepat. Namun, jika berkat tersebut membawa kita pada kesombongan atau rasa superioritas, maka itu bukanlah jalan yang diajarkan Alkitab. Seperti Paulus, kita dipanggil untuk tetap rendah hati, mengakui bahwa pengalaman rohani yang paling berharga adalah yang membawa kita semakin dekat kepada Tuhan dan memampukan kita melayani sesama dengan kasih yang murni, bukan dengan kebanggaan diri.