Ayat 2 Korintus 9:2 ini, meskipun seringkali dikutip dalam konteks perpuluhan atau persembahan, sebenarnya berbicara tentang inti dari kekristenan: anugerah dan kemurahan hati Allah. Paulus mengingatkan jemaat di Korintus tentang kebaikan Allah yang tak terhingga. Kebaikan ini tidak hanya terbatas pada janji-janji atau berkat rohani, tetapi yang paling fundamental adalah pengutusan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, ke dunia. Pengutusan ini adalah sumber kehidupan baru bagi kita, kesempatan untuk hidup dalam hubungan yang benar dengan Allah.
Fokus dari ayat ini adalah pada "kebaikan Allah" sebagai motivasi utama untuk memberi. Ketika kita memahami betapa besar kebaikan yang telah Allah tunjukkan kepada kita melalui Kristus, hati kita secara alami akan tergerak untuk membalas kebaikan tersebut. Pemberian yang sejati tidak lahir dari paksaan, kewajiban semata, atau keinginan untuk mendapatkan sesuatu, melainkan dari hati yang penuh syukur atas kasih karunia yang telah diterima.
Dalam konteks yang lebih luas dari pasal 9, Paulus sedang mendorong jemaat di Korintus untuk menyelesaikan pengumpulan persembahan bagi jemaat di Yerusalem. Namun, ia menekankan bahwa pemberian ini haruslah dilakukan dengan kerelaan dan sukacita, bukan dengan berat hati atau terpaksa. Keinginan Paulus adalah agar mereka tidak memberi "sebab terpaksa" atau "dengan perhitungan," melainkan "dengan sukacita" (2 Korintus 9:7). Ayat 2 ini menjadi landasan teologis yang kuat untuk dorongan tersebut.
Bayangkan sebuah keluarga yang menerima hadiah yang sangat berharga dan penuh kasih dari orang tua mereka. Tentu, mereka akan merasa sangat gembira dan mungkin ingin membalas kebaikan tersebut dengan cara apa pun yang mereka bisa. Demikian pula, ketika kita menyadari karunia terbesar Allah, yaitu Yesus Kristus yang memberi diri-Nya untuk penebusan dosa kita, hati kita akan dipenuhi dengan sukacita yang meluap. Sukacita inilah yang menjadi bahan bakar untuk kemurahan hati kita.
Memberi dengan sukacita bukan berarti kita tidak memiliki kesulitan atau tantangan dalam hidup. Bahkan, kadang-kadang justru dalam keadaan kekuranganlah anugerah Allah semakin terlihat jelas. Paulus sendiri mengalami banyak kesulitan, namun ia tetap memiliki sukacita yang mendalam karena hubungannya dengan Kristus. Ia mengajarkan bahwa Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kita, supaya kita, dalam segala hal dan dalam segala waktu, memiliki kecukupan untuk segala macam kebutuhan, dan bahkan berlebih untuk berbuat segala macam pekerjaan baik (2 Korintus 9:8).
Dengan demikian, 2 Korintus 9:2 menjadi pengingat penting bahwa segala bentuk pemberian yang tulus dan berharga dimulai dari pengenalan yang mendalam akan kebaikan Allah. Ketika kita merenungkan pengorbanan Kristus, hati kita akan dibaharui, dan kita akan dimampukan untuk memberi dengan sukacita, bukan karena kewajiban, tetapi sebagai respons alami dari kasih yang telah kita terima. Pemberian tersebut kemudian menjadi kesaksian yang hidup akan kebaikan Allah di dunia. Marilah kita renungkan kebaikan-Nya dan biarkan sukacita itu mengalir melalui tangan kita.