"TUHAN menulari raja itu, sehingga ia menjadi sakit kusta sampai hari kematiannya. Ia tinggal di sebuah rumah pengasingan, sebab ia telah dijauhkan dari rumah TUHAN. Dan Yotam, anak raja itu, mengurus istana raja dan memerintah rakyat negeri itu."
Ayat 2 Raja-Raja 15:5 membawa kita pada catatan penting mengenai pemerintahan Raja Azarya, yang juga dikenal sebagai Uzia, di Yehuda. Kisah ini menyoroti konsekuensi dari kesetiaan dan ketidaksetiaan seorang pemimpin di hadapan Tuhan. Azarya adalah seorang raja yang pada awalnya memerintah dengan baik. Kitab Suci mencatat bahwa ia "melakukan apa yang benar di mata TUHAN, sesuai dengan segala yang telah dilakukan ayahnya Amazia" (2 Raja-Raja 15:3). Inilah fondasi pemerintahan yang saleh, yaitu berpijak pada teladan kebaikan dan ketaatan kepada Tuhan. Keturunan David memang diharapkan untuk memimpin umat sesuai dengan kehendak ilahi, dan Azarya, di awal pemerintahannya, tampaknya menunaikan tugas ini.
Namun, seperti banyak pemimpin dalam sejarah Alkitab, perjalanan iman Azarya mengalami ujian. Meskipun ia berhasil dalam banyak aspek pemerintahannya, termasuk memperluas wilayah dan membangun kota, ada satu area di mana ia melampaui batasnya. Alkitab mencatat dalam 2 Tawarikh 26:16-18 bahwa keangkuhan merasuki hatinya setelah kekuatannya berlipat ganda. Ia mencoba untuk membakar korban ukupan di mezbah dupa, sebuah tugas yang secara eksklusif diperuntukkan bagi para imam dari keturunan Harun. Tindakan ini adalah bentuk pemberontakan langsung terhadap ketetapan ilahi dan penghinaan terhadap tatanan keimaman yang telah ditetapkan Tuhan.
Sebagai respons terhadap kesombongan dan ketidaktaatan Azarya ini, Tuhan memberikan hukuman yang berat. Ayat 2 Raja-Raja 15:5 dengan jelas menyatakan, "TUHAN menulari raja itu, sehingga ia menjadi sakit kusta sampai hari kematiannya." Kusta pada masa itu bukan hanya penyakit fisik yang mengerikan, tetapi juga membawa stigma sosial yang berat dan secara religius dianggap sebagai tanda ketidaksetiaan atau dosa. Karena penyakit kusta ini, Azarya harus hidup terpisah dari masyarakat dan, yang lebih penting, dari kediaman Tuhan. Ia "tinggal di sebuah rumah pengasingan, sebab ia telah dijauhkan dari rumah TUHAN." Ini adalah konsekuensi yang pahit dari kesombongan yang menjauhkannya dari hadirat Tuhan, sumber segala kekuatan dan berkat.
Meskipun Azarya sendiri harus menanggung akibat perbuatannya, warisan kepemimpinan dan garis keturunan David tidak terputus. Ayat tersebut melanjutkan dengan menyatakan, "Dan Yotam, anak raja itu, mengurus istana raja dan memerintah rakyat negeri itu." Yotam, putra Azarya, mengambil alih tanggung jawab pemerintahan. Kisah ini menunjukkan bahwa Tuhan tetap setia pada perjanjian-Nya dengan David untuk memastikan adanya penerus yang akan memerintah Yehuda. Meskipun Azarya dihukum karena kesalahannya, keturunan salehnya, Yotam, melanjutkan tugas untuk memimpin umat Tuhan, meskipun dalam keadaan yang menyedihkan akibat dosa ayahnya. Yotam sendiri dikenal sebagai raja yang saleh, melanjutkan teladan kebaikan dan takut akan Tuhan.
Inti dari 2 Raja-Raja 15:5 adalah pengingat yang kuat tentang kehendak Tuhan yang berdaulat, pentingnya kerendahan hati dalam kepemimpinan, dan konsekuensi dari ketidaktaatan. Sekalipun seorang pemimpin saleh, kesombongan dapat membawa jatuh. Namun, di tengah hukuman, Tuhan tetap menunjukkan belas kasihan-Nya dengan memastikan kelanjutan pemerintahan yang saleh melalui generasi berikutnya, menjaga agar garis keturunan David tetap berjalan sesuai janji-Nya.