"Dan ia mempersembahkan korban bakaran itu di atas mezbah di hadapan TUHAN."
Simbol altar pengorbanan yang menyala.
Ayat dari Kitab 2 Raja-raja pasal 16, ayat 13, ini merupakan bagian dari narasi tentang pemerintahan Raja Ahas di Yehuda. Konteks historis yang mengelilingi ayat ini menunjukkan masa-masa penuh gejolak, baik secara politik maupun spiritual. Bangsa Israel dan Yehuda seringkali terombang-ambing antara kesetiaan kepada TUHAN dan godaan untuk menyembah dewa-dewa asing. Raja Ahas sendiri dikenal sebagai pemimpin yang lebih banyak melakukan hal yang tidak benar di mata TUHAN, bahkan meniru praktik-praktik keagamaan dari bangsa-bangsa sekitarnya.
Namun, di tengah gambaran kepemimpinan yang kelam tersebut, ayat 13 ini menampilkan sebuah tindakan yang secara harfiah terjadi: persembahan korban bakaran di atas mezbah di hadapan TUHAN. Meskipun konteks keseluruhannya mungkin tidak mencerminkan iman yang tulus dan murni, tindakan fisik ini menandakan adanya pengakuan terhadap keberadaan dan otoritas TUHAN dalam ritual keagamaan bangsa Israel. Mezbah adalah tempat sentral dalam ibadah Perjanjian Lama, menjadi titik pertemuan antara manusia dan Allah, serta sarana untuk menyatakan penyesalan, pengakuan dosa, dan penyerahan diri.
Persembahan korban bakaran memiliki makna simbolis yang mendalam. Korban itu dibakar sepenuhnya di atas mezbah, menunjukkan penyerahan total kepada Allah. Ini adalah ekspresi ketaatan, pengabdian, dan pengakuan bahwa hidup seseorang berasal dari dan bergantung pada kehendak ilahi. Dalam tradisi Israel, korban bakaran juga dapat berfungsi sebagai cara untuk mencari pendamaian dan perkenanan dari TUHAN.
Meskipun Raja Ahas melakukan berbagai hal yang menyimpang, seperti mendirikan mezbah baru yang meniru desain mezbah dari Damsyik dan memindahkan mezbah tembaga yang ada, ayat ini tetap mencatat bahwa di atas mezbah yang ada, persembahan tetap dilakukan kepada TUHAN. Hal ini bisa diartikan sebagai pengakuan minimal terhadap kedaulatan TUHAN, bahkan di tengah pengaruh asing dan praktik keagamaan yang tercampur. Ini mengingatkan kita bahwa bahkan dalam kondisi yang paling sulit atau dalam hati yang paling jauh dari kesempurnaan, tindakan menghadap TUHAN dan mempersembahkan sesuatu, sekecil apapun bentuknya, tetap memiliki tempat dalam narasi ilahi.
Ayat ini juga bisa menjadi refleksi bagi pembaca modern. Di tengah kesibukan hidup, tantangan pribadi, dan pengaruh dunia yang beragam, penting untuk terus mengingat dan mengakui TUHAN. Melalui doa, ibadah, dan tindakan ketaatan, kita mempersembahkan "korban" kita kepada-Nya. Seperti mezbah di Yerusalem, hati kita bisa menjadi tempat di mana kita secara sadar memilih untuk mengarahkan hidup kita kepada TUHAN, mengakui kekuasaan-Nya, dan mencari kehendak-Nya, terlepas dari segala gangguan di sekitar kita.