"Salmaneser, raja Asyur, maju melawan negeri itu, dan Hosyea menjadi hambanya serta membayar upeti kepadanya."
Ayat 2 Raja-raja 17:5 ini menyajikan sebuah momen penting dalam sejarah Israel, khususnya Kerajaan Utara (Samaria). Ayat ini tidak hanya mencatat tindakan Raja Salmaneser dari Asyur, tetapi juga menyoroti posisi Hosyea, raja terakhir Samaria, yang terpaksa tunduk dan membayar upeti kepada kekuatan yang sedang bangkit. Peristiwa ini menjadi pintu gerbang menuju kehancuran total Kerajaan Samaria, sebuah konsekuensi dari penolakan mereka terhadap peringatan ilahi dan kesetiaan pada perjanjian dengan Allah.
Kisah kejatuhan Samaria adalah narasi yang penuh dengan pelajaran rohani dan sejarah. Kerajaan Israel Utara, setelah terpecah dari Kerajaan Yehuda, telah lama menyimpang dari ajaran-ajaran Allah. Mereka mendirikan tempat-tempat penyembahan berhala, mengabaikan para nabi yang diutus Allah untuk memperingatkan mereka, dan sering kali mencari bantuan dari bangsa-bangsa asing alih-alih mengandalkan Tuhan. Perilaku ini, yang dikategorikan sebagai "dosa yang besar" dalam Kitab Suci, tidak luput dari perhatian Allah.
Raja Salmaneser, yang disebutkan dalam ayat ini, adalah penguasa Asyur yang memiliki ambisi besar untuk memperluas kerajaannya. Bangsa Asyur dikenal dengan kekuatan militer mereka yang brutal dan efisien, serta strategi penaklukan yang kejam. Datangnya tentara Asyur ke wilayah Israel bukanlah sebuah serangan mendadak, melainkan bagian dari kampanye militer yang lebih luas untuk menegaskan dominasi mereka di wilayah tersebut. Hosyea, raja Samaria pada saat itu, berada dalam posisi yang sangat sulit. Ia mungkin mencoba menentang atau mencari sekutu, namun pada akhirnya, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia tidak mampu menahan kekuatan Asyur sendirian.
Keputusan Hosyea untuk menjadi "hamba" dan membayar upeti kepada Salmaneser adalah tanda keputusasaan dan kelemahan. Ini adalah pengakuan kekalahan, sebuah pengakuan bahwa kedaulatan Samaria telah direnggut oleh kekuatan eksternal. Pembayaran upeti ini bukanlah solusi jangka panjang, melainkan penundaan yang hanya mengulur waktu sebelum kehancuran yang lebih besar datang. Bangsa Asyur sering kali menggunakan perjanjian upeti ini sebagai prelude untuk penaklukan total dan pembuangan penduduk.
Ayat ini mengingatkan kita pada konsekuensi dari ketidaktaatan dan penolakan terhadap kehendak Allah. Sejarah Samaria, seperti yang dicatat dalam 2 Raja-raja, menjadi sebuah peringatan abadi bahwa bangsa atau individu yang berpaling dari Tuhan dan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran akan menghadapi malapetaka. Kejatuhan Samaria bukanlah hanya peristiwa politik atau militer, tetapi juga merupakan manifestasi dari penghakiman ilahi atas dosa yang terus-menerus dilakukan. Pelajaran dari 2 Raja-raja 17:5 tetap relevan hingga kini, mengajarkan pentingnya kesetiaan, kerendahan hati di hadapan Allah, dan konsekuensi dari mengabaikan jalan kebenaran.