Kutipan dari kitab 2 Raja-Raja 18:34 ini merupakan bagian dari dialog yang sangat penting dan sarat makna. Kata-kata ini diucapkan oleh panglima perang Asyur, yang dikirim oleh Raja Sanherib, untuk mempermalukan Raja Hizkia dari Yehuda dan penduduk Yerusalem. Dengan nada mengejek, ia menantang Hizkia dan para pengikutnya untuk membuktikan keefektifan dewa mereka dalam melindungi mereka dari kekuatan militer Asyur yang perkasa.
Pada masa itu, kerajaan-kerajaan di Timur Dekat kuno sering kali percaya bahwa dewa-dewa mereka memiliki kekuatan yang terbatas pada wilayah geografis mereka. Kemenangan militer atas suatu bangsa sering dianggap sebagai bukti superioritas dewa penakluk atas dewa-dewa bangsa yang kalah. Sang panglima perang Asyur memproklamirkan bahwa dewa-dewa bangsa-bangsa lain telah gagal melindungi mereka dari tangannya, dan kini ia ingin melihat apakah dewa Yehuda, yang disebut YHWH, akan mampu melakukan hal yang sama.
Tantangan ini bukan sekadar retorika perang, melainkan juga sebuah ujian iman. Raja Hizkia dan rakyat Yerusalem sedang menghadapi ancaman eksistensial. Tentara Asyur telah menghancurkan banyak kota Yehuda dan kini mengepung Yerusalem. Dalam situasi genting seperti ini, manusia cenderung beralih kepada sumber kekuatan yang paling mereka percayai. Sang panglima perang Asyur mencoba menggoyahkan iman mereka dengan menunjukkan kegagalan dewa-dewa bangsa lain. Ia ingin menanamkan keraguan dan ketakutan, agar mereka menyerah.
Namun, kisah selanjutnya dalam 2 Raja-Raja mengungkapkan jawaban yang luar biasa atas tantangan tersebut. Raja Hizkia tidak mengandalkan kebijaksanaan duniawi atau kekuatan militer semata. Sebaliknya, ia dan Nabi Yesaya berdoa dengan sungguh-sungguh kepada TUHAN. Doa mereka penuh kerendahan hati, pengakuan akan kedaulatan Allah, dan permohonan akan pertolongan-Nya. Dan Allah menjawab doa mereka dengan cara yang dahsyat.
Melalui campur tangan ilahi yang ajaib, pada malam harinya, malaikat TUHAN pergi dan membinasakan seratus delapan puluh lima ribu orang di perkemahan tentara Asyur. Sanherib terpaksa menarik pasukannya kembali ke Niniwe. Ini adalah bukti nyata bahwa dewa yang disembah Hizkia bukanlah dewa lokal yang lemah, melainkan TUHAN semesta alam, yang berkuasa atas segala bangsa dan segala situasi. Kegagalan dewa-dewa lain dalam melindungi umat mereka sama sekali tidak mencerminkan kelemahan TUHAN, melainkan kekuasaan-Nya yang melampaui semua dewa.
Kisah ini mengajarkan kita tentang kekuatan doa dan keandalan TUHAN. Ketika kita dihadapkan pada masalah yang tampaknya tidak terpecahkan, seperti ancaman dari luar atau keraguan dari dalam, kita diingatkan untuk tidak berkecil hati. Seperti Hizkia, kita dapat membawa pergumulan kita kepada TUHAN dalam doa. Ayat 2 Raja-Raja 18:34, meskipun diucapkan dalam nada mengejek, justru menjadi pengingat akan kekuasaan Allah yang luar biasa, yang mampu menjawab tantangan terberat sekalipun dengan cara yang seringkali di luar dugaan manusia.