"Hizkia menjadi raja tatkala ia berumur dua puluh lima tahun, dan ia memerintah sembilan belas tahun di Yerusalem. Nama ibunya ialah Abia, anak Zakharia."
Ilustrasi simbolis kemenangan dan masa pemerintahan yang diberkati.
Kitab 2 Raja-raja mencatat sejarah panjang bangsa Israel, seringkali diwarnai oleh pemberontakan dan ketidaktaatan kepada Tuhan. Namun, di tengah kegelapan tersebut, muncul tokoh-tokoh seperti Hizkia yang membawa terang dan pembaruan rohani. Ayat 2 Raja-raja 23:28 memperkenalkan Hizkia sebagai seorang raja yang naik takhta pada usia muda, tepatnya 25 tahun, dan memerintah selama 19 tahun di Yerusalem. Informasi ini memberikan landasan kronologis penting untuk memahami periode pemerintahannya yang signifikan.
Konteks ayat ini berada dalam pembukaan dari catatan mengenai pemerintahan Hizkia, yang dikenal sebagai salah satu raja Yehuda yang paling saleh dan reformis. Ia menggantikan ayahnya, Ahaz, yang dikenal karena tindakannya yang jahat dan menyembah berhala. Peralihan kekuasaan dari Ahaz ke Hizkia menandai titik balik krusial bagi kerajaan Yehuda. Hizkia tidak hanya sekadar melanjutkan pemerintahan ayahnya, melainkan ia membawa perubahan radikal yang berfokus pada pemulihan ibadah kepada TUHAN yang benar.
Usia 25 tahun saat naik takhta menunjukkan bahwa Hizkia sudah memiliki kematangan yang cukup untuk memimpin, meski masih tergolong muda. Sembilan belas tahun masa pemerintahannya di Yerusalem bukanlah waktu yang singkat. Periode ini dimanfaatkannya untuk melakukan serangkaian reformasi penting. Salah satu tindakan paling menonjol yang dilakukan Hizkia adalah pembersihan Bait Suci dari segala bentuk penyembahan berhala yang telah merajalela di bawah raja-raja sebelumnya. Ia memerintahkan agar semua patung dewa asing dihancurkan dan mengembalikan fungsi Bait Suci sebagai pusat ibadah kepada TUHAN.
Lebih dari sekadar pembersihan fisik, Hizkia juga mengorganisir kembali pelayanan Lewi dan para imam, serta mengembalikan perayaan Paskah dengan semangat yang baru dan kesungguhan hati. Reformasi ini tidak hanya terbatas pada aspek ibadah, tetapi juga mencakup penataan kembali administrasi kerajaan dan penguatan pertahanan. Keberhasilan Hizkia dalam menghadapi ancaman dari bangsa Asiria, terutama invasi Sanherib, seringkali dikaitkan dengan kesalehan dan kepercayaannya yang teguh kepada TUHAN. Kemenangan yang diperolehnya seringkali dianggap sebagai bukti intervensi ilahi yang nyata.
Nama ibunya, Abia, putri Zakharia, memberikan detail genealogis yang penting. Meskipun fokus utama adalah pada raja itu sendiri, informasi mengenai keluarga dapat memberikan wawasan tentang latar belakang dan pengaruh yang mungkin membentuk karakter dan kepemimpinannya. Dalam tradisi Israel kuno, peran ibu dalam membentuk karakter anak laki-laki, terutama yang akan menjadi pemimpin, seringkali sangat signifikan.
Kisah Hizkia, yang dimulai dengan pengantar singkat di ayat 2 Raja-raja 23:28, kemudian berkembang menjadi narasi tentang keberanian, iman, dan kepemimpinan yang transformatif. Ia menjadi teladan bagi raja-raja selanjutnya, menunjukkan bahwa ketaatan kepada TUHAN dapat membawa berkat, pemulihan, dan bahkan kemenangan atas musuh-musuh yang tampak tak terkalahkan. Masa pemerintahannya adalah pengingat yang kuat bahwa kesetiaan kepada Tuhan adalah fondasi yang kokoh bagi setiap pemimpin dan sebuah bangsa. Kemenangan dan kesuksesan yang diraih Hizkia adalah buah dari hubungannya yang erat dengan Tuhan dan tekadnya untuk mengembalikan umatnya kepada jalan kebenaran.