Konteks Sejarah dan Implikasi
Ayat 2 Raja-raja 23:31 membawa kita pada momen penting dalam sejarah Kerajaan Yehuda, yaitu permulaan pemerintahan Raja Yoyakim. Pada usia 25 tahun, Yoyakim naik takhta di Yerusalem dan memerintah selama sebelas tahun. Masa pemerintahannya ini tercatat sebagai periode yang penuh gejolak dan tantangan, yang akhirnya berujung pada kehancuran dan pembuangan.
Yoyakim mewarisi takhta dari pamannya, Yoyakim. Pemerintahan Yoyakim dimulai di bawah bayang-bayang kekuatan asing, terutama Mesir dan Babilonia. Firaun Nekho dari Mesir telah menunjuk Yoyakim sebagai raja setelah mengalahkan pamannya, Yoyakhaz, dan membawanya ke Mesir. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya kedaulatan Yehuda pada masa itu, yang tunduk pada kekuatan luar.
Selama pemerintahannya, Yoyakim dikenal sebagai raja yang tidak melakukan apa yang benar di mata TUHAN. Kitab Suci menggambarkan perbuatannya sebagai cerminan dari kejahatan leluhurnya (2 Raja-raja 23:37). Ia lebih memilih untuk menyenangkan hati penguasa asing daripada mengikuti jalan kebenaran dan keadilan yang diajarkan oleh hukum Taurat. Sikap ini, ditambah dengan ketidaktaatannya kepada Tuhan, menjadi benih kehancuran bagi kerajaannya.
Puncak dari ketidaktaatan Yoyakim terjadi ketika ia memberontak terhadap Nebukadnezar, raja Babilonia. Pemberontakan ini memicu murka Babilonia dan berujung pada pengepungan Yerusalem. Meskipun Yoyakim meninggal sebelum kota itu sepenuhnya jatuh ke tangan Nebukadnezar, tindakannya secara langsung mempercepat kehancuran bangsa dan bait suci yang akan terjadi di bawah pemerintahan putranya, Yoyakhin, dan kemudian Zedekia.
Ayat ini juga menyebutkan nama ibu Yoyakim, Lubna. Meskipun informasi mengenai ibu raja seringkali dicatat, dalam kasus Yoyakim, nama ini tidak memberikan pencerahan signifikan mengenai latar belakang atau pengaruhnya terhadap pemerintahan Yoyakim yang singkat namun penuh tragedi. Fokus utama tetap pada tindakan Yoyakim sendiri sebagai raja.
Kisah Yoyakim adalah pengingat kuat akan konsekuensi dari ketidaktaatan terhadap Tuhan dan ketergantungan pada kekuatan duniawi. Kejatuhannya menandai fase penting dalam sejarah bangsa Israel, di mana pembuangan ke Babilonia menjadi realitas pahit yang membayangi mereka. Pengalaman ini mengajarkan pelajaran abadi tentang pentingnya kedaulatan rohani di atas kedaulatan politik dan tentang kesetiaan kepada Tuhan sebagai fondasi yang kokoh bagi sebuah bangsa.