Ayat dari 2 Raja-raja 23:34 ini membawa kita pada salah satu momen penting dalam sejarah Kerajaan Yehuda, sebuah periode yang penuh dengan gejolak politik dan intervensi asing. Peristiwa ini terjadi di bawah kepemimpinan raja asing yang kuat, Firaun Nekho dari Mesir, yang memiliki pengaruh besar di wilayah tersebut pada masa itu. Pergantian raja di Yehuda yang begitu terang-terangan menyoroti kerentanan dan ketergantungan politik yang dialami oleh bangsa Israel.
Firaun Nekho, dalam ekspansinya ke utara, memiliki kepentingan strategis di wilayah Levant, termasuk Kerajaan Yehuda. Keterlibatan Mesir dalam urusan internal Yehuda tidaklah baru, namun kali ini dampaknya sangat langsung dan signifikan. Dengan secara resmi menempatkan Elyakim, yang kemudian diganti namanya menjadi Yoelhakim, sebagai raja menggantikan Yoahas, Firaun Nekho secara efektif menjadikan Yehuda sebagai negara bawahan Mesir. Perubahan nama ini sendiri bisa diartikan sebagai upaya untuk menegaskan otoritas Mesir dan memutus ikatan dengan tradisi lama atau pengaruh dari kekuatan lain yang mungkin tidak disukai oleh Mesir.
Yoahas, putra dari raja sebelumnya, Yosia, hanya berkuasa sebentar sebelum akhirnya dibawa ke Mesir. Keputusan ini sangat mencolok karena raja sebuah bangsa, bahkan yang kecil sekalipun, secara harfiah "dibuang" dan digantikan oleh pilihan penguasa asing. Ini menunjukkan bahwa kedaulatan Yehuda telah sangat terkikis. Pengangkatan Elyakim, yang diubah namanya menjadi Yoelhakim, adalah sebuah tindakan politis untuk memastikan bahwa penguasa di Yehuda akan setia kepada Mesir dan menjalankan kebijakan yang menguntungkan Firaun Nekho. Nama baru yang diberikan, Yoelhakim, mungkin memiliki makna yang berhubungan dengan agenda Mesir, atau sekadar penegasan kekuasaan.
Konteks historis di balik peristiwa ini sangatlah penting. Periode ini terjadi saat Kerajaan Asiria mulai melemah dan Mesir berupaya untuk mengisi kekosongan kekuasaan di wilayah tersebut. Kekaisaran Babel (Babilonia) juga mulai bangkit sebagai kekuatan dominan di Mesopotamia. Dalam pusaran persaingan kekuatan besar inilah, Yehuda dan kerajaan-kerajaan tetangganya seringkali menjadi pion yang diperebutkan. Keputusan Firaun Nekho mencerminkan realitas geopolitik yang keras pada zamannya, di mana bangsa-bangsa kecil harus berjuang untuk bertahan di antara imperium-imperium raksasa.
Bagi umat Israel di Yehuda, peristiwa ini tentu membawa berbagai dampak. Secara politik, mereka kehilangan otonomi dan berada di bawah kendali Mesir. Secara spiritual, situasi ini bisa menjadi pengingat akan ketidaksetiaan mereka kepada Tuhan yang seringkali menjadi penyebab kehancuran dan penawanan. Kitab Raja-raja mencatat peristiwa ini sebagai bagian dari narasi yang lebih besar tentang kebangkitan dan kejatuhan kerajaan Israel, serta konsekuensi dari pilihan raja dan umatnya. Peristiwa ini juga menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan yang bijak dan integritas, serta kerentanan sebuah bangsa ketika hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya terganggu.