Ayat 2 Raja-Raja 6:28 membawa kita pada gambaran yang sangat mengerikan, sebuah realitas kelaparan ekstrem yang merasuk hingga ke tingkat yang paling memilukan. Kutipan dari percakapan antara seorang raja dan seorang perempuan di tengah pengepungan kota Samaria ini, menyingkapkan kedalaman keputusasaan yang dihadapi oleh penduduknya.
Konteks dari ayat ini adalah situasi genting di Samaria. Kota tersebut dikepung oleh tentara Aram di bawah pimpinan Ben-Hadad. Pengepungan ini berlangsung begitu lama dan begitu ketat sehingga pasokan makanan di dalam kota menipis hingga titik kritis. Kelaparan bukan lagi sekadar ancaman, melainkan kenyataan pahit yang menggigit. Berbagai cara yang tidak lazim dan mengerikan mulai dilakukan demi bertahan hidup.
Perempuan yang berbicara kepada raja adalah salah satu dari dua perempuan yang telah membuat perjanjian mengerikan. Perjanjian tersebut adalah untuk memakan anak mereka sendiri. Di hari pertama, mereka telah memakan anak dari salah satu dari mereka. Namun, ketika tiba giliran perempuan yang satunya untuk memberikan anaknya, perempuan tersebut menyembunyikan anaknya. Inilah inti dari percakapan tragis yang direkam dalam 2 Raja-Raja 6:28. Ia bertanya kepada raja, "Mengapa engkau berbuat demikian?" yang dijawab oleh perempuan lain dengan pengakuan yang menyayat hati: "Kakakku tadi berkata kepadaku: Berikanlah anakmu, supaya kami makan dia hari ini, dan anakku yang lain akan kami makan besok."
Ungkapan ini melambangkan puncak kehancuran moral dan sosial yang disebabkan oleh kelaparan yang ekstrem. Kemanusiaan seolah terenggut, digantikan oleh naluri bertahan hidup yang brutal. Ikatan keluarga yang paling suci pun dilanggar, dan kasih ibu berubah menjadi ancaman mengerikan bagi anaknya sendiri. Pengakuan ini bukan sekadar laporan, melainkan jeritan keputusasaan yang mendalam dari sebuah masyarakat yang terperosok ke dalam jurang kehancuran.
Reaksi raja atas pengakuan ini juga penting. Dikatakan bahwa ketika raja mendengar perkataan perempuan itu, ia merobek pakaiannya dan berjalan hilir mudik di tembok kota. Wajahnya pucat pasi, menunjukkan betapa terkejut dan ngerinya ia mendengar cerita tersebut. Ini adalah pengakuan atas kegagalan kepemimpinannya dalam melindungi rakyatnya dari bencana sehebat itu. Ayat ini bukan hanya sekadar catatan sejarah perang, melainkan sebuah peringatan akan dampak kehancuran yang bisa ditimbulkan oleh konflik dan kelaparan yang berkepanjangan. Ini adalah cerminan dari penderitaan manusia di titik terendahnya, di mana moralitas teruji hingga batasnya.
Kisah dalam 2 Raja-Raja 6:28 mengingatkan kita akan nilai-nilai kemanusiaan, pentingnya perdamaian, dan konsekuensi mengerikan dari kelalaian dan kekejaman perang. Kehidupan di tengah kepungan dan kelaparan ekstrem seperti yang dialami Samaria adalah pengingat yang kuat akan kerapuhan peradaban dan pentingnya kepedulian terhadap sesama, terutama di masa-masa sulit.