Ayat Alkitab 2 Tawarikh 18:9 menyajikan sebuah momen krusial dalam narasi sejarah Kerajaan Israel, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Ahab. Ayat ini secara ringkas menggambarkan sebuah perbedaan pendapat yang tajam antara para nabi yang melayani raja dan seorang nabi yang, meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit, membawa pesan yang sangat berbeda. Latar belakang cerita ini adalah keinginan Raja Ahab dan Raja Yosafat dari Yehuda untuk berperang melawan Aram di Ramot-Gilead. Dalam konteks ini, kedua raja meminta nasihat dari para nabi.
Sebanyak ratusan nabi yang hadir, semuanya memberikan jawaban yang serupa dan menyenangkan hati para raja. Mereka meramalkan kemenangan, menggemakan optimisme dan persetujuan terhadap rencana perang tersebut. Sangat mudah bagi raja-raja untuk merasa yakin dan bersemangat ketika dihadapkan pada suara-suara yang mendukung dan memuji keputusan mereka. Dalam situasi seperti ini, sangatlah lumrah bagi seseorang untuk mendengarkan apa yang ingin didengarnya, terutama jika hal itu datang dari begitu banyak sumber yang tampaknya berwibawa.
Namun, narasi ini tidak berhenti pada persetujuan massal tersebut. Ayat 2 Tawarikh 18:9 memperkenalkan sosok Mikha, anak Yimla, yang diakui sebagai pembawa nubuat yang berbeda. Kata "berbeda" di sini bukan sekadar perbedaan pendapat biasa, melainkan perbedaan yang fundamental dan berlawanan dengan apa yang dikatakan oleh ratusan nabi lainnya. Pesan Mikha, seperti yang terungkap dalam ayat-ayat selanjutnya, adalah peringatan keras bahwa perang tersebut akan berakhir dengan kekalahan dan kematian Raja Ahab.
Kisah ini menyoroti tema penting tentang keberanian dalam menyampaikan kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu tidak populer atau berlawanan dengan mayoritas. Para nabi yang lain, bisa jadi karena keinginan untuk menyenangkan penguasa, karena takut akan konsekuensi, atau bahkan karena salah memahami kehendak Tuhan, memilih untuk memberikan nasihat yang "aman". Sebaliknya, Mikha memilih untuk menjadi suara yang jujur, meskipun itu berarti menentang aliran utama dan berisiko menghadapi kemarahan raja. Keberaniannya adalah cerminan dari kesetiaan kepada Tuhan dan kebenaran-Nya, di atas segalanya.
Kita dapat belajar banyak dari peristiwa ini. Pertama, penting untuk tidak hanya mendengarkan suara-suara yang menyenangkan, tetapi juga mencari kebenaran yang otentik. Mayoritas belum tentu benar. Kedua, ayat ini mengingatkan kita tentang pentingnya integritas dan keberanian moral. Dalam kehidupan pribadi, profesional, atau bahkan dalam komunitas, seringkali ada godaan untuk mengikuti arus atau mengatakan apa yang diharapkan. Namun, teladan Mikha mengajarkan bahwa ada nilai yang tak terhingga dalam berbicara kebenaran, meskipun sendirian.
Reaksi terhadap Mikha menunjukkan betapa sulitnya menerima kebenaran yang tidak diinginkan. Ahab sendiri kemudian memerintahkan agar Mikha dipenjara dan diberi makan "roti kesusahan dan air kesusahan." Namun, pada akhirnya, nubuat Mikha terbukti benar, dan Ahab gugur dalam pertempuran. Hal ini menggarisbawahi bahwa kebenaran ilahi, meskipun diabaikan atau ditolak pada awalnya, pada akhirnya akan tetap tegak. Kisah 2 Tawarikh 18:9 menjadi pengingat abadi akan kekuatan kebenaran dan pentingnya mendengarkan suara yang jujur, di mana pun itu berada.