Kisah yang tercatat dalam Kitab 2 Tawarikh pasal 25, ayat 27, menghadirkan sebuah momen krusial dalam sejarah Kerajaan Yehuda. Ayat ini bukan sekadar rangkaian kata-kata, melainkan cerminan dari konsekuensi yang tak terhindarkan ketika seorang pemimpin berpaling dari sumber kekuatannya yang sejati, yaitu Tuhan. Ayat ini menceritakan tentang Raja Amazia, seorang penguasa yang, setelah awalnya menunjukkan keberhasilan dalam peperangan melawan Edom dan bahkan menaklukkan Sela, akhirnya memilih jalan kesesatan.
Fenomena berpaling dari Tuhan bisa terjadi secara perlahan atau tiba-tiba. Dalam kasus Amazia, tampaknya ia menjadi sombong dan menganggap kemenangannya adalah hasil kekuatannya sendiri atau karena ia telah mengadopsi dewa-dewa kaum yang ditaklukkannya. Tindakan ini secara fundamental adalah sebuah pemberontakan. Bukan pemberontakan fisik terhadap otoritas yang ada, tetapi pemberontakan spiritual yang lebih dalam, yaitu pengabaian terhadap perjanjian dan ketaatan kepada Allah.
Konsekuensi dari pemberontakan spiritual ini pun segera terlihat. Alkitab mencatat bahwa "orang-orang membuat persekongkolan melawan dia di Yerusalem." Ini menunjukkan adanya ketidakpuasan yang meluas di kalangan rakyatnya. Mungkin rakyat melihat perubahan perilakunya, ketidakadilannya, atau bahkan penyembahan berhalanya yang semakin terang-terangan, yang membuat mereka merasa tidak aman dan kehilangan arah. Pemberontakan internal di dalam negeri sendiri adalah pertanda buruk bagi stabilitas sebuah kerajaan, dan ini seringkali merupakan cerminan dari ketidakberesan yang dimulai dari pucuk kepemimpinan.
Raja Amazia, yang seharusnya menjadi pelindung dan pemimpin yang bijaksana, kini menjadi sasaran kemarahan rakyatnya sendiri. Ketakutannya mendorongnya untuk melarikan diri dari ibu kota, Yerusalem, menuju kota Lakis. Pelarian ini menunjukkan kelemahan dan hilangnya otoritasnya yang sebenarnya. Namun, pelarian bukanlah akhir dari masalahnya. Poin penting dari ayat ini adalah bahwa ia tidak bisa lari dari konsekuensi tindakannya. Para pemberontak tidak tinggal diam. Mereka mengirimkan pengejar hingga ke Lakis, sebuah kota yang mungkin cukup jauh, untuk memastikan bahwa pelarian sang raja tidak akan mengembalikan posisinya. Akhir cerita yang tragis, ia dibunuh di sana.
Kisah 2 Tawarikh 25:27 mengajarkan beberapa pelajaran berharga. Pertama, kesombongan dan melupakan Tuhan setelah keberhasilan adalah jalan menuju kehancuran. Kedua, tindakan ketidaktaatan kepada Tuhan seringkali berujung pada ketidakstabilan dan pemberontakan, baik dari dalam maupun luar. Ketiga, tidak ada tempat untuk lari dari akibat perbuatan yang salah, terutama jika akar masalahnya adalah pengabaian terhadap prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Bagi kita di masa kini, ayat ini menjadi pengingat yang kuat untuk senantiasa menjaga hubungan yang benar dengan Tuhan, mengandalkan-Nya dalam segala situasi, dan hidup dalam ketaatan agar terhindar dari jalan kesesatan dan kehancuran.