2 Tawarikh 26:19 - Menghadapi Murka Ilahi

Maka Uzia, raja itu, menjadi marah dan di tangannya ia memegang bokor pendupaan untuk membakar dupa. Ketika ia menjadi marah kepada imam-imam itu, maka penyakit kusta timbul seketika pada dahinya, di depan mata TUHAN, di rumah TUHAN, dekat mezbah pembakaran dupa itu.

Kisah Raja Uzia yang tercatat dalam 2 Tawarikh 26:19 menyajikan momen krusial yang menggambarkan konsekuensi dari kesombongan dan pelanggaran batas ilahi. Ayat ini bukan sekadar narasi sejarah, tetapi sebuah pengingat abadi tentang pentingnya kerendahan hati dan ketaatan di hadapan Tuhan. Uzia, seorang raja yang pada awalnya diberkati dan membawa kemakmuran bagi kerajaannya, akhirnya jatuh dalam jurang kesombongan yang membawanya pada kehancuran spiritual. Ia memimpin banyak ekspedisi militer yang sukses, membangun kota-kota, dan menguatkan pertahanan Yerusalem. Tuhan menyertainya, menjadikannya pemimpin yang kuat dan disegani. Namun, seiring dengan meningkatnya kekuasaan dan reputasinya, hati Uzia pun mulai membengkak oleh keangkuhan.

Puncak dari kesombongannya terjadi ketika ia berinisiatif untuk melakukan tugas yang semata-mata menjadi wewenang para imam, yaitu membakar dupa di mezbah Tuhan. Tindakan ini, sebagaimana dicatat dalam kitab Tawarikh, adalah sebuah penodaan terhadap kekudusan ibadah dan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum Tuhan. Para imam, yang bertugas menjaga tatanan ibadah, dengan tegas mencoba menegur dan mencegah Uzia. Namun, kesombongan Uzia begitu dalam sehingga ia malah menjadi marah kepada para imam tersebut. Dalam kemarahannya yang membutakan, ia memegang bokor pendupaan, siap untuk melaksanakan niatnya yang lancar.

Momen dramatis pun terjadi. Ketika Uzia sedang dalam keadaan marah kepada para imam, "penyakit kusta timbul seketika pada dahinya, di depan mata TUHAN, di rumah TUHAN, dekat mezbah pembakaran dupa itu." Penyakit kusta pada zaman itu dianggap sebagai tanda hukuman ilahi, sebuah penyakit yang mematikan dan memisahkan penderitanya dari komunitas. Hukuman ini datang seketika, di tempat yang paling suci, di hadapan Tuhan sendiri. Ini adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa Tuhan melihat dan tidak tinggal diam terhadap kesombongan dan pelanggaran umat-Nya, terutama mereka yang memegang posisi kepemimpinan.

Kisah Uzia mengajarkan kita bahwa kekuasaan, kesuksesan, atau status yang tinggi bukanlah jaminan kekebalan terhadap teguran ilahi. Sebaliknya, posisi yang tinggi seringkali membawa tanggung jawab yang lebih besar dan ujian iman yang lebih berat. Kesombongan adalah racun yang dapat merusak karakter terbaik sekalipun. Ketika kita merasa diri kita terlalu hebat, terlalu penting, atau terlalu berhak untuk melampaui batasan yang telah ditetapkan Tuhan, kita membuka diri terhadap konsekuensi yang menyakitkan. Ayat 2 Tawarikh 26:19 menjadi pengingat yang gamblang bahwa Tuhan menghargai hati yang rendah hati dan taat, dan murka-Nya dapat dinyatakan kepada siapa saja yang menolak untuk tunduk pada kehendak-Nya, terlepas dari status atau pencapaian mereka. Refleksi atas kisah Uzia mengundang kita untuk terus menjaga hati, menguji motivasi kita, dan memprioritaskan ketaatan kepada Tuhan di atas segala ambisi duniawi.