Kisah Raja Uzzia dalam kitab 2 Tawarikh pasal 26 menawarkan sebuah pelajaran berharga tentang bahaya ambisi yang tidak terkendali dan kesombongan yang menjauhkan manusia dari ketaatan kepada Tuhan. Ayat ke-20 dengan tegas menggambarkan momen krusial ini, di mana Uzzia, setelah mencapai puncak kekuasaan dan kemakmuran, justru jatuh ke dalam jurang kesombongan yang mendalam. Ia yang seharusnya menjadi pemimpin rohani dan politik yang bijaksana bagi umat Israel, malah berani melangkahi batas-batas ilahi.
Pencapaian Uzzia selama masa pemerintahannya memang luar biasa. Kitab suci mencatat keberhasilannya dalam bidang militer, pembangunan, dan penguatan Yerusalem. Ia berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, membangun benteng, dan mengembangkan pertanian. Keberhasilan ini tidak hanya membawa stabilitas tetapi juga kemakmuran bagi kerajaannya. Namun, alih-alih menggunakan kekuatannya untuk semakin memuliakan Tuhan, Uzzia mulai memandang dirinya sendiri sebagai sumber keberhasilan tersebut.
Titik balik terjadi ketika hatinya "menjadi sombong." Kesombongan adalah racun yang perlahan merusak hubungan manusia dengan Tuhan. Ia mulai merasa berhak atas segala sesuatu yang telah dicapainya, bahkan melupakan bahwa semua kekuatan dan anugerah berasal dari Sang Pencipta. Ambisinya tidak lagi terarah pada pelayanan yang kudus, melainkan pada perluasan kekuasaan dan kehormatan pribadi yang melampaui otoritas yang diberikan Tuhan.
Peristiwa puncak dari kesombongannya adalah tindakannya yang nekat untuk masuk ke dalam Bait Allah dan mencoba membakar kemenyan di mezbah kemenyan. Peran sebagai pembakar kemenyan di Bait Allah secara eksklusif diperuntukkan bagi para imam dari keturunan Harun. Ini adalah tugas yang sangat sakral dan hanya boleh dilakukan oleh mereka yang telah ditahbiskan secara khusus oleh Tuhan. Uzzia, sebagai raja, memiliki peran penting dalam urusan negara dan militer, tetapi ia tidak memiliki otoritas untuk menjalankan fungsi keimaman. Tindakannya ini merupakan bentuk pemberontakan langsung terhadap tatanan ilahi dan penolakan terhadap otoritas keimaman yang telah ditetapkan Tuhan.
Akibat dari perbuatannya ini sangat fatal. Ia langsung dihukum dengan penyakit kusta, yang memaksanya untuk hidup terpisah sampai akhir hayatnya. Uzzia, yang tadinya begitu kuat dan dihormati, kini menderita penyakit yang memalukan dan dipisahkan dari komunitasnya, termasuk dari Bait Allah yang sangat ia cintai namun telah ia nodai. Kisah ini menjadi pengingat yang kuat bahwa ambisi, sekecil apapun, jika tidak diarahkan oleh kerendahan hati dan ketaatan kepada Tuhan, dapat berujung pada kehancuran. Ia mengajarkan kita untuk terus memeriksa hati kita, agar kekayaan, kekuasaan, atau pencapaian tidak membuat kita sombong dan melupakan sumber segala berkat.