2 Tawarikh 26:23

"Lalu Uzia menjadi pewarisnya (Yohanan)." Ayat ini mengacu pada kematian dan penguburan Raja Uzia.
Ilustrasi makam raja atau simbol kehormatan RAJA

Kisah Raja Uzia, yang dicatat dalam Kitab 2 Tawarikh pasal 26, adalah salah satu narasi yang kaya akan pelajaran tentang kepemimpinan, keberhasilan, dan konsekuensi dari kesombongan. Ayat 23, yang ringkas, menandai akhir dari masa pemerintahannya yang panjang dan beragam. "Lalu Uzia menjadi pewarisnya" – sebuah pernyataan sederhana yang menutup catatan kehidupan dan masa kekuasaannya. Namun, di balik kalimat ini tersimpan riwayat yang mendalam.

Uzia naik takhta Yehuda pada usia muda, sekitar 16 tahun, dan memerintah selama 52 tahun. Periode pemerintahannya adalah salah satu masa kejayaan Yehuda yang paling gemilang. Ia berhasil mengembalikan kekuatan militer kerajaan yang telah lama merosot. Di bawah kepemimpinannya, Yehuda mengalami ekspansi wilayah yang signifikan. Ia memperkuat kota-kota dan membangun benteng pertahanan yang kokoh di seluruh negeri, termasuk di Yerusalem. Tentara Uzia sangat terlatih dan diperlengkapi dengan baik, menunjukkan keahlian militer dan organisasinya yang luar biasa. Ia bahkan mengembangkan teknologi baru dalam bidang persenjataan, seperti membuat mesin pelempar batu yang canggih.

Di bidang ekonomi, Uzia juga membawa kemakmuran bagi Yehuda. Ia mendorong aktivitas pertanian dan peternakan yang produktif, serta menggalakkan perdagangan. Sumber daya alam dimanfaatkan dengan baik, yang pada akhirnya meningkatkan kekayaan kerajaan. Keberhasilan ini seringkali dikaitkan dengan petunjuk dan dukungan dari Allah. "Dan ketakutan kepada TUHAN menyertainya," demikian dicatat dalam ayat-ayat sebelumnya, menunjukkan bahwa pada awal dan sebagian besar masa pemerintahannya, Uzia hidup dalam kesalehan dan ketaatan kepada Tuhan. Kesalehan ini menjadi fondasi bagi keberhasilan dan perlindungan ilahi yang ia terima.

Namun, kisah Uzia tidak berakhir dengan kemenangan semata. Seiring dengan peningkatan kekuasaannya dan kemakmuran yang ia nikmati, timbul pula kesombongan dalam hatinya. Keberhasilan yang begitu besar membuat Uzia lupa diri dan melupakan sumber segala berkatnya. Dalam kesombongannya, ia berusaha untuk menjalankan tugas keimaman, yaitu membakar kemenyan di mezbah di Bait Suci. Ini adalah tugas yang hanya boleh dilakukan oleh para imam dari keturunan Harun, bukan oleh raja. Ketika para imam menegurnya, Uzia menjadi marah dan bersikeras melanjutkan perbuatannya.

Sebagai respons atas dosanya yang lancang ini, Tuhan menghukum Uzia dengan penyakit kusta yang langsung muncul di dahinya. Penyakit ini membuatnya terpisah dari pergaulan masyarakat dan dari Bait Suci. Ia harus tinggal di luar tembok kota dalam pengasingan. Meskipun demikian, ia tetap menjadi raja dan memerintah dari kejauhan, namun tidak lagi memiliki akses penuh ke pemerintahan dan ibadah. "Maka patahlah semangatnya, dan ia menanggung kemarahannya, dan ia dikucilkan dari rumah TUHAN." Keputusan ini menunjukkan betapa seriusnya Allah memandang ketidaktaatan, terutama dari mereka yang diberi tanggung jawab besar.

Ayat 23, "Lalu Uzia menjadi pewarisnya," secara harfiah mengacu pada penggantinya, yaitu putranya Yohanan, yang akan melanjutkan takhta setelah kematiannya. Namun, dalam konteks yang lebih luas, ayat ini juga bisa diartikan sebagai akhir dari warisan dosa yang ia tinggalkan, atau penyerahan tanggung jawab kepada generasi berikutnya setelah masa pemerintahannya yang penuh kontradiksi. Kisah Uzia menjadi pengingat abadi bahwa keberhasilan materi dan kekuasaan duniawi tidak boleh mengaburkan rasa hormat dan ketaatan kepada Tuhan. Kesombongan adalah jebakan yang dapat menjatuhkan bahkan pemimpin yang paling berhasil sekalipun.

Kisah Raja Uzia, yang berakhir dengan penyakit kusta karena kesombongan, mengajarkan kita pentingnya kerendahan hati di hadapan Tuhan, sekecil apapun pencapaian kita.