2 Tawarikh 27:3 - Ketaatan Yotam Sang Raja

"Dia melakukan apa yang benar di mata TUHAN, persis seperti yang telah dilakukan ayahnya Uzia. Namun, mezbah-mezbah bakar-bakaran tidak disingkirkannya, dan rakyat masih terus mempersembahkan korban di sana dan membakar ukupan."
Ilustrasi tugu peringatan dengan asap dupa di atasnya, melambangkan persembahan bakar-bakaran

Kisah tentang Raja Yotam yang tercatat dalam 2 Tawarikh 27:3 menyajikan gambaran yang menarik tentang kepemimpinannya. Ia digambarkan sebagai seorang raja yang "melakukan apa yang benar di mata TUHAN, persis seperti yang telah dilakukan ayahnya Uzia." Ini adalah pujian yang patut diacungi jempol, mengingat Uzia adalah raja yang berumur panjang dan memiliki banyak pencapaian penting dalam pemerintahannya, termasuk keberhasilan dalam peperangan dan pembangunan yang signifikan.

Pengakuan atas kebenaran tindakan Yotam di hadapan Tuhan menunjukkan bahwa ia hidup sesuai dengan hukum dan perintah-Nya. Ia kemungkinan besar meneladani integritas, keadilan, dan kesalehan yang telah ditunjukkan oleh ayahnya. Hal ini penting karena fondasi moral dan spiritual suatu bangsa sering kali sangat dipengaruhi oleh teladan pemimpinnya.

Namun, ayat tersebut melanjutkan dengan sebuah catatan penting: "Namun, mezbah-mezbah bakar-bakaran tidak disingkirkannya, dan rakyat masih terus mempersembahkan korban di sana dan membakar ukupan." Pernyataan ini mengungkapkan adanya sebuah praktik keagamaan yang tetap dipertahankan oleh rakyat, meskipun pemimpinnya memiliki hati yang lurus. Mezbah-mezbah bakar-bakaran, dalam konteks sejarah Israel, dapat merujuk pada berbagai hal. Bisa jadi itu adalah sisa-sisa dari praktik ibadah yang kurang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Tuhan di Bait Suci.

Ketiadaan tindakan tegas dari Yotam untuk menyingkirkan mezbah-mezbah ini, meskipun ia berbuat benar di mata Tuhan, menimbulkan pertanyaan. Apakah ini merupakan sebuah kompromi? Atau apakah itu merupakan bentuk toleransi terhadap tradisi yang sudah mengakar di masyarakatnya? Atau mungkin, ia belum sepenuhnya menyadari dampak negatif dari praktik tersebut terhadap hubungan umat Israel dengan Tuhan.

Ayat ini mengingatkan kita bahwa kepemimpinan yang baik tidak hanya tentang melakukan hal yang benar secara pribadi, tetapi juga tentang membimbing seluruh masyarakat menuju jalan yang benar. Terkadang, ada praktik-praktik yang tampaknya tidak berbahaya atau sudah biasa dilakukan, tetapi sebenarnya dapat menjauhkan manusia dari Tuhan. Raja Yotam, meskipun memiliki niat baik, tampaknya belum sepenuhnya mengatasi persoalan ibadah yang menyimpang ini.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa pencarian kebenaran dan kesetiaan kepada Tuhan adalah sebuah proses berkelanjutan. Bahkan bagi mereka yang memiliki hati yang tulus dan berusaha hidup benar, ada area-area dalam kehidupan pribadi maupun sosial yang mungkin memerlukan peninjauan ulang dan penyesuaian agar lebih sesuai dengan kehendak Tuhan. Fokus pada integritas pribadi adalah awal yang baik, namun kepemimpinan yang sejati seringkali menuntut keberanian untuk membersihkan segala sesuatu yang menghalangi hubungan umat dengan Sang Pencipta.

Meskipun demikian, patut dicatat bahwa 2 Tawarikh 27:6 menyatakan bahwa "Yotam menjadi semakin kuat, sebab ia mengatur jalan-jalannya dengan hati-hati di hadapan TUHAN, Allahnya." Ini menunjukkan bahwa meskipun ada kekurangan dalam penanganan praktik ibadah, ia tetap menjadi raja yang kuat dan dihormati, kemungkinan karena aspek-aspek positif lainnya dari pemerintahannya dan kekuatannya yang berasal dari imannya.

Dalam kehidupan modern, kita bisa merenungkan apakah ada "mezbah-mezbah bakar-bakaran" dalam kehidupan kita atau dalam masyarakat yang perlu kita perhatikan dan singkirkan. Hal-hal yang mungkin menghalangi kita untuk memberikan seluruh kesetiaan kita kepada Tuhan, sekecil atau sebesar apapun itu. Teladan Raja Yotam mengingatkan kita untuk terus menerus menguji hati dan tindakan kita, serta untuk berani melakukan perubahan demi kesempurnaan iman.