"Raja itu pun menjadi sangat berkuasa, sebab TUHAN, Allahnya, menyertakannya. Orang Filistin ditaklukkannya, dan orang Siria pun ditaklukkannya."
Ayat 2 Tawarikh 27:5 ini memaparkan sebuah kebenaran fundamental mengenai sumber kekuasaan sejati seorang pemimpin. Raja Yotam, salah satu raja Yehuda yang tercatat dalam sejarah Alkitab, digambarkan sebagai sosok yang "menjadi sangat berkuasa, sebab TUHAN, Allahnya, menyertakannya." Kalimat ini bukan sekadar pujian kosong, melainkan penegasan bahwa otoritas dan keberhasilan pemerintahannya bersumber dari hubungan vertikalnya dengan Sang Pencipta.
Di tengah berbagai tantangan dan kekuatan asing yang mengintai, Yotam tidak hanya mampu mempertahankan wilayahnya, tetapi juga mampu menaklukkan musuh-musuh bebuyutan Yehuda, seperti orang Filistin dan orang Siria. Penaklukan ini bukanlah hasil dari strategi militer semata atau kekuatan persenjataan yang superior, melainkan sebuah konsekuensi dari anugerah dan pertolongan ilahi. Ketika Tuhan menyertai, seorang pemimpin memiliki kekuatan yang melampaui kemampuan manusiawi.
Sejarah hidup Raja Yotam, sebagaimana tercatat dalam kitab 2 Tawarikh, menekankan bahwa ketaatannya kepada Tuhan adalah pondasi dari berkat yang ia terima. Ia dikenal sebagai raja yang melakukan apa yang benar di mata TUHAN, mengikuti teladan ayahnya, Uzia. Ketaatan ini bukan hanya dalam ritual keagamaan, tetapi juga dalam integritas kepemimpinannya, membangun kembali pertahanan Yehuda, dan membawa kemakmuran bagi rakyatnya.
Penyertaan Tuhan bukanlah sesuatu yang otomatis diberikan kepada setiap penguasa. Ia adalah anugerah yang ditujukan bagi mereka yang memilih untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Dalam kasus Yotam, pilihan ini terbukti membawa dampak yang luar biasa, baik bagi dirinya pribadi maupun bagi kerajaan yang dipimpinnya. Kekuatan yang ia miliki adalah cerminan dari kekuatan Tuhan yang bekerja melaluinya.
Kisah Raja Yotam dan ayat 2 Tawarikh 27:5 memiliki relevansi yang kuat di zaman modern. Dalam konteks kepemimpinan, baik dalam skala negara, organisasi, maupun keluarga, ayat ini mengingatkan kita bahwa kekuasaan yang sejati dan keberlanjutan yang hakiki tidak dapat dicapai hanya melalui kekuatan duniawi. Dukungan ilahi, yang diperoleh melalui ketaatan, kerendahan hati, dan integritas, adalah fondasi yang tak tergoyahkan.
Seorang pemimpin yang mengutamakan Tuhan dalam setiap keputusannya, yang berusaha untuk bertindak adil, dan yang menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, akan merasakan penyertaan Tuhan. Penyertaan ini bukan berarti bebas dari kesulitan, tetapi memberikan kekuatan, hikmat, dan ketahanan untuk menghadapi badai kehidupan dan membawa perubahan positif bagi lingkungan sekitar. Ayat ini menjadi pengingat bahwa sumber kekuatan terbesar kita datang dari Tuhan.