Ayat 2 Tawarikh 29:22 bukan sekadar deskripsi ritual penyembelihan hewan kurban. Ayat ini merupakan bagian penting dari narasi pemulihan rohani di bawah kepemimpinan Raja Hizkia. Setelah masa kegelapan dan penyembahan berhala di bawah pemerintahan ayah Hizkia, Manasye, Hizkia mengambil langkah berani untuk memulihkan ibadah yang benar kepada TUHAN di Yerusalem. Ia memerintahkan Bait Suci dibersihkan, diperbaiki, dan dipersembahkan kembali kepada Allah. Langkah pertama dalam pemulihan ini adalah pembersihan dan pengudusan melalui kurban yang dipersembahkan sesuai dengan ketetapan Taurat.
Penyebelihan lembu jantan, lembu jantan muda, dan domba jantan, serta percikan darahnya pada mezbah memiliki makna simbolis yang mendalam. Kurban-kurban ini melambangkan pengorbanan total dan pembersihan dosa. Darah adalah kehidupan, dan percikannya pada mezbah melambangkan penutupan dosa dan pemulihan hubungan dengan TUHAN. TUHAN sendiri yang menetapkan sistem kurban ini sebagai cara bagi umat-Nya untuk mendekat kepada-Nya, memohon pengampunan, dan meneguhkan kembali perjanjian mereka.
Dalam konteks Hizkia, kurban-kurban ini bukan hanya ritual formal, tetapi sebuah ekspresi pertobatan yang tulus dan kerinduan untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Ini adalah langkah krusial untuk mengembalikan kesucian Bait Suci dan memulihkan umat Israel kepada persekutuan yang benar dengan TUHAN. Keberhasilan pemulihan rohani Hizkia ditandai dengan kembalinya sukacita ibadah dan berkat TUHAN yang melimpah.
Meskipun kita tidak lagi melakukan kurban hewan seperti yang dijelaskan dalam 2 Tawarikh 29:22, prinsip di baliknya tetap relevan. Kurban dalam Perjanjian Baru, terutama melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib, adalah pengorbanan yang sempurna dan final untuk menebus dosa umat manusia.
Kisah Hizkia dan ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya: