"Mereka mempersembahkan lembu sebelas ekor, domba jantan seratus ekor, dan anak domba jantan dua ratus ekor, semuanya menjadi korban bakaran bagi TUHAN, dan demikian pula kambing jantan dua belas ekor sebagai korban penghapus dosa untuk seluruh Israel."
Ayat 2 Tawarikh 29:23 mencatat sebuah momen krusial dalam pemulihan ibadah di Bait Suci Yerusalem di bawah kepemimpinan Raja Hizkia. Setelah masa kegelapan dan penyembahan berhala yang merajalela, Hizkia dengan berani memulihkan ibadah yang benar kepada Tuhan. Persembahan yang disebutkan dalam ayat ini bukanlah sekadar ritual semata, melainkan simbol dari hati yang tulus dan komitmen untuk kembali kepada Tuhan.
Persembahan yang begitu besar ini – sebelas lembu, seratus domba jantan, dua ratus anak domba jantan, dan dua belas kambing jantan – menunjukkan betapa seriusnya Hizkia dan bangsa Israel dalam memperbaiki kesalahan masa lalu. Lembu dan domba jantan seringkali dipersembahkan sebagai korban bakaran (holocaust), yang seluruhnya dibakar di mezbah sebagai tanda penyerahan diri total dan penebusan dosa. Kambing jantan, di sisi lain, dipersembahkan sebagai korban penghapus dosa, yang secara khusus ditujukan untuk membersihkan umat dari pelanggaran mereka. Jumlah yang banyak ini menyiratkan pengakuan dosa yang mendalam dan kerinduan yang kuat untuk rekonsiliasi dengan Sang Pencipta.
Tindakan Hizkia ini bukan hanya tentang mengembalikan ritual keagamaan, tetapi juga tentang menanamkan kembali nilai-nilai ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan dalam hati bangsanya. Ini adalah sebuah pernyataan publik bahwa mereka menolak jalan sesat sebelumnya dan memilih untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Kehadiran persembahan ini di mezbah adalah bukti nyata dari pertobatan yang tulus dan pemulihan hubungan dengan Tuhan.
Dalam konteks modern, ayat ini mengingatkan kita bahwa ibadah kepada Tuhan yang sejati tidak hanya terbatas pada kata-kata atau perasaan, tetapi juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata dan pengorbanan. Persembahan dalam bentuk apapun – waktu, tenaga, talenta, atau materi – jika dipersembahkan dengan hati yang benar dan tulus, dapat menjadi cara untuk menghormati dan mengabdi kepada Tuhan. Persembahan yang besar dari Hizkia dan bangsa Israel seharusnya menjadi inspirasi bagi kita untuk memberikan yang terbaik dari diri kita bagi kemuliaan Tuhan, serta untuk terus menerus menjaga kemurnian hati dan kesetiaan dalam menjalani kehidupan beriman. Pemulihan ibadah yang dipimpin Hizkia menjadi mercusuar harapan, menunjukkan bahwa penebusan dan pemulihan selalu tersedia bagi mereka yang berbalik kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh.
Kisah ini mengajarkan kita pentingnya mengakui kesalahan, bertobat dengan sungguh-sungguh, dan menunjukkan komitmen kita kepada Tuhan melalui tindakan nyata. Persembahan yang diberikan adalah wujud fisik dari perubahan hati dan tekad untuk hidup dalam kekudusan.