Ayat Alkitab yang tercatat dalam Kitab 2 Tawarikh pasal 3 ayat 3 membawa kita pada momen krusial dalam sejarah umat Israel: dimulainya pembangunan Bait Allah di Yerusalem. Konteks ini sangat penting karena menandai pergeseran dari ibadah yang berpindah-pindah, yang sebelumnya berpusat pada Kemah Suci, menuju sebuah tempat ibadah yang permanen dan megah yang dirancang oleh Raja Daud dan akhirnya dibangun oleh putranya, Salomo. Lokasi yang dipilih bukanlah sembarangan, melainkan Gunung Moria, sebuah tempat yang memiliki makna spiritual mendalam.
Gunung Moria diyakini sebagai tempat di mana Abraham diperintahkan untuk mengurbankan Ishak, putra perjanjiannya. Peristiwa ini menjadi ujian iman tertinggi bagi Abraham dan menunjukkan kesetiaan serta ketaatan mutlaknya kepada Tuhan. Pengalaman Abraham di Moria menjadikan gunung ini sebagai simbol pengorbanan dan penebusan. Lebih lanjut, Kitab 2 Tawarikh 21:18 menyebutkan bahwa bencana yang menimpa Yerusalem saat itu berhenti tepat di area yang kemudian menjadi milik Arauna orang Yebus, yang kemudian dibeli oleh Daud. Daud sendiri telah mempersiapkan banyak hal untuk pembangunan Bait Suci, termasuk lokasi di Gunung Moria, yang ia sebut sebagai tempat yang "disediakan Allah" dan tempat di mana ia melihat penampakan malaikat Tuhan yang menghentikan tulah.
Pembangunan Bait Allah oleh Salomo merupakan manifestasi dari janji Tuhan kepada Daud. Tuhan berjanji bahwa keturunan Daud akan membangun rumah bagi nama-Nya. Salomo, dengan hikmat yang dianugerahkan Tuhan, mewujudkan visi ini. Ayat ini secara spesifik menyebutkan bahwa pembangunan dimulai di "tempat yang disediakan Daud, di pentas orang Yebus Arauna". Ini menunjukkan kesinambungan antara rencana Daud dan pelaksanaan oleh Salomo, serta pengakuan terhadap tempat yang dipilih dan dibeli oleh Daud. Tempat ini menjadi fondasi yang kokoh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual, untuk pusat ibadah dan kehadiran Allah di tengah umat-Nya.
Penting untuk dicatat bahwa ukuran dan kemegahan Bait Allah yang kemudian dibangun mencerminkan kemuliaan Tuhan dan kekayaan bangsa Israel pada masa keemasan Salomo. Namun, inti dari pembangunan ini bukanlah kemegahan arsitektural semata, melainkan sebagai simbol kesetiaan umat kepada Allah dan tempat di mana mereka dapat datang menyembah, memohon pengampunan, dan menerima petunjuk ilahi. Lokasi di Gunung Moria, yang berakar pada kisah pengorbanan Abraham dan penghentian tulah oleh Daud, menegaskan kembali tema penebusan, anugerah, dan perjanjian yang berulang dalam narasi Alkitab. Dengan demikian, 2 Tawarikh 3:3 bukan hanya sekadar penanda dimulainya sebuah proyek konstruksi besar, tetapi juga merupakan pengingat akan makna spiritual yang mendalam dari tempat kudus yang akan berdiri di sana.