"Juga mereka menyuruh surat-surat untuk mencela TUHAN, Allah Israel, dan untuk berbicara melawan Dia: 'Seperti dewa-dewa bangsa-bangsa negeri itu tidak dapat melepaskan rakyatnya dari tangan raja Asyur.'"
Ayat ini dari Kitab 2 Tawarikh, pasal 32, ayat 17, membawa kita pada sebuah momen krusial dalam sejarah Kerajaan Yehuda di bawah pemerintahan Raja Hizkia. Kita disajikan dengan sebuah gambaran nyata tentang bagaimana tekanan dan ancaman dapat mempengaruhi cara pandang manusia terhadap kuasa Ilahi. Sanherib, raja Asyur yang perkasa, telah menyerbu dan menaklukkan banyak kota di Yehuda, menimbulkan ketakutan yang luar biasa di antara rakyat. Dalam upaya untuk menanamkan keraguan dan keputusasaan, para pejabat Asyur tidak hanya mengintimidasi secara fisik, tetapi juga melancarkan serangan verbal dan tertulis terhadap Allah Israel.
Mereka mengirimkan surat-surat yang penuh dengan ejekan dan penghinaan terhadap Tuhan. Pesan mereka jelas: Allah Israel, sama seperti dewa-dewa bangsa lain yang telah ditaklukkan, tidak berdaya melawan kekuatan militer Asyur. Ini adalah strategi provokasi yang dirancang untuk menggoyahkan iman Hizkia dan seluruh rakyat Yehuda. Bayangkan betapa menakutkannya situasi ini. Di satu sisi, ancaman fisik yang nyata dari pasukan Asyur yang mengepung Yerusalem. Di sisi lain, serangan psikologis yang merusak kepercayaan pada perlindungan ilahi. Surat-surat tersebut berfungsi sebagai propaganda, bertujuan untuk menunjukkan superioritas raja Asyur dan ketidakmampuan Allah mereka.
Namun, kisah ini tidak berakhir dengan keputusasaan. Respon Hizkia dan Nabi Yesaya terhadap provokasi ini adalah inti dari pengajaran ayat ini. Alih-alih menyerah pada ketakutan atau membalas ejekan, Hizkia mencari hikmat dan kekuatan dari Tuhan. Ia pergi ke Bait Allah, berdoa, dan berkonsultasi dengan Nabi Yesaya. Ayat-ayat selanjutnya dalam pasal ini menceritakan bagaimana Tuhan menjawab doa Hizkia, mengirimkan malaikat-Nya yang membinasakan seratus delapan puluh lima ribu tentara Asyur dalam satu malam. Kemenangan ini bukan hasil dari strategi militer manusia semata, melainkan bukti nyata dari campur tangan Allah yang melindungi umat-Nya ketika mereka berserah kepada-Nya.
Pelajaran dari 2 Tawarikh 32:17 sangat relevan bagi kita di masa kini. Kita mungkin tidak menghadapi invasi militer seperti Hizkia, tetapi kita pasti menghadapi berbagai bentuk "serangan" yang berusaha meruntuhkan iman kita. Tantangan hidup, godaan, keraguan, dan perkataan orang-orang yang meremehkan nilai-nilai rohani dapat terasa seperti surat-surat ejekan yang dikirim oleh musuh. Dalam menghadapi kesulitan, mudah untuk bertanya, "Di mana Tuhan?" atau meragukan kuasa-Nya, terutama ketika situasi tampak suram.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa kepercayaan yang teguh pada Allah adalah sumber kekuatan sejati. Ketika kita mendengar atau merasakan hal-hal yang meragukan kuasa Tuhan, kita dipanggil untuk tidak terintimidasi, tetapi untuk membawa kekhawatiran kita kepada-Nya dalam doa. Sama seperti Hizkia, kita harus mencari hikmat dan mengandalkan Tuhan untuk memberikan perlindungan dan solusi. Surat-surat ejekan tersebut ternyata menjadi awal dari kemenangan besar. Ini menunjukkan bahwa ujian iman seringkali adalah kesempatan untuk menyaksikan kebesaran Tuhan. Kuncinya adalah tetap setia dan tidak membiarkan keraguan atau ketakutan mengalahkan kepercayaan kita kepada Sang Pencipta yang Mahakuasa.