Ilustrasi: Perisai dan Tanda Kedaulatan
"Dan tentang Allah nenek moyang mereka, mereka mendustakan firman TUHAN, Allah mereka, dan perbuatan-perbuatan yang telah didatangkan-Nya."
Kisah yang tercatat dalam 2 Tawarikh pasal 32 menggambarkan salah satu momen paling menegangkan dalam sejarah Kerajaan Yehuda. Raja Hizkia, seorang pemimpin yang saleh, dihadapkan pada ancaman invasi dari Sanherib, raja Asyur yang perkasa. Sanherib telah menaklukkan banyak kota dan kerajaan di sekitarnya, dan kini Yerusalem menjadi target berikutnya. Tentara Asyur yang besar dan brutal telah mengepung kota, menimbulkan ketakutan yang luar biasa di kalangan penduduk. Dalam situasi genting seperti ini, ayat 19 dari pasal 32 ini menjadi sangat relevan.
Ayat ini menyoroti sebuah pola yang seringkali terjadi ketika umat Tuhan menghadapi kesulitan. Dikatakan bahwa para musuh, atau lebih tepatnya, para pengikut Sanherib, mendustakan firman Tuhan dan perbuatan-Nya. Ini mencerminkan sikap hati yang keras kepala dan penolakan untuk mengakui kedaulatan dan kuasa Allah. Meskipun mereka menyaksikan sendiri bagaimana Tuhan telah menolong umat-Nya di masa lalu, mereka memilih untuk mengabaikannya dan mengandalkan kekuatan sendiri atau ilah-ilah mereka yang sebenarnya tidak berdaya. Mereka tidak melihat bahwa kemenangan yang mereka raih sebelumnya adalah semata-mata karena anugerah dan intervensi ilahi.
Di tengah keputusasaan dan ancaman, Raja Hizkia tidak hanya mengandalkan tembok kota atau kekuatan pasukannya. Ia berseru kepada Tuhan. Bersama para pembesar dan para perwiranya, Hizkia memanggil para imam untuk menyumbat mata air di luar kota, agar sumber air tidak dapat dimanfaatkan oleh tentara Asyur. Namun, yang lebih penting lagi, Hizkia dan para pemimpinnya merendahkan diri di hadapan Tuhan dan memohon pertolongan-Nya. Mereka mengirim utusan untuk bertanya kepada Nabi Yesaya, agar permohonan mereka disampaikan kepada Tuhan.
Nabi Yesaya menyampaikan pesan dari Tuhan yang penuh dengan penghiburan dan janji kemenangan. Tuhan berfirman bahwa Sanherib tidak akan berhasil menyerbu Yerusalem. Tuhan sendiri akan membela kota itu. Dan apa yang terjadi kemudian adalah bukti nyata dari kuasa doa dan kesetiaan Tuhan. Pada malam harinya, malaikat TUHAN datang dan membinasakan seratus delapan puluh lima ribu orang dari perkemahan Asyur. Sanherib sendiri terpaksa kembali ke Niniwe dengan malu dan kehinaan. Ini adalah demonstrasi yang gamblang tentang bagaimana Allah bekerja untuk membela umat-Nya yang berseru kepada-Nya.
Ayat 2 Tawarikh 32:19, meskipun mengutip ucapan musuh, mengingatkan kita akan bahaya menolak kebenaran dan kuasa Allah. Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita juga bisa tergoda untuk mengabaikan pertolongan Tuhan dan mengandalkan kemampuan kita sendiri, atau malah meragukan kuasa-Nya ketika menghadapi masalah. Kita mungkin pernah mengalami kesulitan di masa lalu dan melihat bagaimana Tuhan menolong kita, namun ketika masalah baru datang, kita lupa akan pengalaman iman tersebut.
Kisah Hizkia mengajarkan kita pentingnya iman yang teguh, doa yang tulus, dan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Ketika dunia di sekitar kita tampak penuh dengan ancaman dan ketidakpastian, kita diingatkan bahwa sumber kekuatan dan keselamatan kita adalah Allah. Perbuatan-Nya di masa lalu bukanlah sekadar cerita, tetapi bukti nyata dari kesetiaan-Nya. Oleh karena itu, marilah kita meneladani Raja Hizkia, yang dalam masa paling sulit pun, memilih untuk berseru kepada Tuhan dan mempercayakan segala sesuatunya ke dalam tangan-Nya. Percayalah, Ia akan mendengar doa kita dan memberikan jalan keluar yang terbaik.