Ayat 2 Tawarikh 33:17 dari Kitab Suci memberikan sebuah gambaran yang unik tentang kondisi spiritual umat Israel pada masa pemerintahan Raja Manasye. Meskipun ayat ini sering kali disandingkan dengan konteks pertobatan Manasye yang mendalam (yang diceritakan pada ayat-ayat sebelumnya), ayat 17 ini justru menyoroti sebuah ironi: setelah raja bertobat dan berusaha memulihkan ibadah kepada TUHAN, rakyatnya masih saja terus melakukan praktik-praktik ibadah yang bercampur atau bahkan menyimpang.
Kontradiksi dalam Ibadah
Manasye, setelah mengalami masa-masa kegelapan di mana ia mendirikan mezbah-mezbah untuk Baal dan Astarta, bahkan menempatkan patung Asyera di Bait Suci, pada akhirnya jatuh sakit dan berdoa kepada TUHAN. Doanya didengarkan, ia dipulihkan, dan ia pun berusaha keras untuk memperbaiki kerusakan yang telah ia timbulkan. Ia menyingkirkan berhala-berhala, memperbaiki mezbah TUHAN, dan memerintahkan Yehuda untuk beribadah kepada TUHAN, Allah nenek moyang mereka. Ini adalah momen krusial pertobatan dan pemulihan.
Namun, ayat 17 memperlihatkan bahwa usaha perbaikan yang dilakukan raja tidak serta-merta mengubah kebiasaan seluruh rakyat. Frasa "masih terus mempersembahkan korban di bukit-bukit pengorbanan" menunjukkan bahwa praktik ibadah yang lazim dilakukan di tempat-tempat tinggi (yang sering kali dikaitkan dengan penyembahan berhala atau campuran) masih berlanjut. Ironisnya, mereka bahkan mempersembahkan korban tersebut "walaupun kepada TUHAN, Allah mereka." Ini mengindikasikan bahwa meskipun hati mereka mungkin tertuju kepada TUHAN, metode dan tempat ibadah mereka masih belum sepenuhnya murni atau sesuai dengan perintah-Nya.
Pelajaran tentang Keaslian Ibadah
Ayat ini mengajarkan kepada kita tentang pentingnya keaslian dalam ibadah. Bukan hanya niat baik atau pengakuan nama TUHAN yang cukup, tetapi juga cara dan bentuk ibadah yang benar. Sejarah Israel berulang kali menunjukkan bahwa percampuran ibadah dengan praktik-praktik asing selalu membawa konsekuensi negatif. Bukit-bukit pengorbanan, meskipun bisa saja digunakan untuk ibadah yang tulus, sering kali dikotori oleh praktik penyembahan berhala yang memuakkan di mata TUHAN.
Perjuangan Manasye untuk memulihkan ibadah yang benar setelah masa lalunya yang kelam adalah sebuah pengingat akan betapa sulitnya mengubah kebiasaan dan tradisi yang sudah mengakar. Bahkan ketika pemimpin tertinggi beralih hati, seringkali dibutuhkan waktu, pendidikan, dan keteguhan yang luar biasa untuk membawa seluruh masyarakat pada ketaatan yang menyeluruh.
Relevansi di Masa Kini
Kisah ini juga relevan bagi kita di zaman sekarang. Seringkali kita mungkin saja mengaku beriman kepada Tuhan, namun cara kita menjalani hidup atau bahkan cara kita beribadah mungkin masih mencampuradukkan nilai-nilai duniawi atau kebiasaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Apakah kita beribadah hanya dengan lidah, sementara hati dan tindakan kita masih terikat pada hal-hal yang menjauhkan kita dari-Nya? Ayat ini mengundang kita untuk merefleksikan keaslian dan kemurnian ibadah kita, memastikan bahwa segala sesuatu yang kita persembahkan kepada Tuhan adalah yang terbaik dan sesuai dengan ajaran-Nya, tanpa kompromi.
Pengampunan dan pemulihan memang dimungkinkan, seperti yang dialami Manasye. Namun, proses pemulihan sejati melibatkan perubahan mendalam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk cara kita menghormati dan beribadah kepada Sang Pencipta.