Ilustrasi: Perumpamaan peringatan dari Tuhan.
Ayat 2 Tawarikh 33:2 membawa kita pada sebuah narasi peringatan yang signifikan dalam sejarah Israel. Ayat ini menggambarkan tindakan raja Manasye dari Yehuda yang melakukan "apa yang jahat di mata TUHAN". Konteks ini sangat penting karena menghubungkan kesalahannya dengan perbuatan keji bangsa-bangsa lain yang sebelumnya telah diusir oleh Tuhan dari tanah perjanjian demi kepentingan bangsa Israel. Ini bukan sekadar gambaran dosa biasa, melainkan sebuah penolakan terhadap standar kekudusan Tuhan dan penerimaan terhadap praktik-praktik yang telah dinyatakan tidak berkenan di hadapan-Nya.
Manasye, seperti yang dijelaskan lebih lanjut dalam pasal yang sama, benar-benar tenggelam dalam kesesatan. Ia mendirikan mezbah-mezbah bagi Dewa Baal, membuat patung Asyera, menyembah seluruh tentara langit, dan bahkan mempersembahkan anak-anaknya dalam api. Ini adalah contoh ekstrem dari penyembahan berhala yang merusak tatanan spiritual dan moral. Dengan meniru kebiasaan bangsa-bangsa non-Israel, Manasye secara efektif mengundang murka Tuhan ke atas umat-Nya. Tindakannya mencerminkan hilangnya rasa hormat dan ketaatan terhadap hukum Tuhan yang telah menjadi dasar keberadaan Israel sebagai umat pilihan.
Perbuatan Manasye ini menjadi cermin bagi kita semua. Terkadang, tanpa disadari, kita bisa saja terpengaruh oleh budaya atau gaya hidup yang tidak sejalan dengan nilai-nilai luhur. Mengikuti arus tanpa pertimbangan, cenderung meniru apa yang populer atau umum dilakukan di sekitar, bisa membawa kita menjauh dari jalan yang benar. Ayat ini mengingatkan bahwa ada standar ilahi yang tidak boleh ditawar, dan mengikuti jalan dunia yang menyimpang dari kehendak Tuhan hanya akan berujung pada kehancuran spiritual.
Namun, narasi tentang Manasye tidak berhenti pada kesesatannya. Bagian selanjutnya dari pasal 33 menunjukkan sebuah titik balik yang luar biasa. Ketika Tuhan mendatangkan para pemimpin Asyur untuk menangkap dan membuang Manasye ke Babel, di tengah penderitaannya, ia merendahkan diri dan berdoa kepada Tuhan. Kebaikan Tuhan justru terwujud dalam bentuk disiplin yang membawa penyesalan. Tuhan mendengarkan doa Manasye, mengampuninya, dan mengembalikannya ke takhtanya di Yerusalem. Ini adalah bukti nyata bahwa Tuhan tidak pernah menutup pintu bagi mereka yang bertobat dengan tulus. 2 Tawarikh 33:2, meskipun menggambarkan awal dari kesesatan, pada akhirnya menjadi bagian dari cerita pemulihan yang lebih besar, menunjukkan bahwa bahkan dari jurang kesesatan yang dalam, ada harapan jika seseorang mau berbalik kepada Tuhan dengan hati yang hancur.
Pelajaran dari ayat ini sangatlah relevan. Pertama, kita diingatkan untuk selalu waspada terhadap pengaruh negatif di sekitar kita dan berpegang teguh pada kebenaran firman Tuhan. Kedua, kita diberi pengharapan bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar bagi pengampunan Tuhan jika ada kemauan untuk bertobat. Perbuatan Manasye yang jahat, yang digambarkan dalam 2 Tawarikh 33:2, menjadi latar belakang dramatis bagi sebuah pemulihan yang penuh kemurahan, menunjukkan betapa dalamnya kasih dan kesabaran Tuhan bagi umat-Nya.