2 Tawarikh 36:11: Kisah Pemberontakan & Ketaatan

"Zedekia berumur dua puluh satu tahun pada waktu ia menjadi raja dan ia memerintah sebelas tahun di Yerusalem. Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, Allahnya, dan ia tidak merendahkan diri di hadapan nabi Yeremia yang berbicara atas nama TUHAN."

Ilustrasi sederhana menunjukkan mata air yang jernih dan tunas pohon muda, melambangkan kehidupan dan pembaharuan.

Ayat dari Kitab 2 Tawarikh pasal 36 ayat 11 ini membawa kita pada sebuah momen krusial dalam sejarah bangsa Israel, menyoroti kepemimpinan Raja Zedekia. Ayat ini secara ringkas namun padat menggambarkan permulaan masa pemerintahan Zedekia, dengan penekanan kuat pada perilakunya yang "jahat di mata TUHAN". Kata "jahat" di sini bukanlah sekadar kesalahan kecil, melainkan penyimpangan moral dan spiritual yang mendalam, menolak prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan yang telah diajarkan dan diwariskan. Ini adalah sebuah penolakan terhadap otoritas ilahi yang memimpin mereka.

Perintah Tuhan yang disampaikan melalui nabi Yeremia bukanlah seruan untuk penghukuman tanpa ampun, melainkan peringatan keras yang disertai dengan anjuran untuk bertobat dan berubah. Namun, Zedekia, sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, "tidak merendahkan diri di hadapan nabi Yeremia". Sikap ini menunjukkan kesombongan, ketidakpedulian terhadap firman Tuhan, dan penolakan untuk mengakui kesalahan atau mencari bimbingan ilahi. Ini adalah akar dari banyak masalah yang dihadapi bangsa pada masa itu.

Dalam konteks sejarah yang lebih luas, pemerintahan Zedekia adalah babak akhir dari Kerajaan Yehuda. Yerusalem akan segera jatuh ke tangan Babel, dan banyak umat Israel akan dibuang. Ayat ini menjadi pengingat bahwa pilihan individu, terutama para pemimpin, memiliki konsekuensi yang sangat besar bagi seluruh komunitas. Ketidaktaatan Zedekia dan penolakannya untuk mendengarkan firman Tuhan melalui Yeremia mempercepat kehancuran yang telah dinubuatkan. Ini bukan hanya tentang kegagalan seorang raja, tetapi juga tentang kegagalan sebuah bangsa untuk belajar dari kesalahan masa lalu dan untuk tetap setia pada perjanjian mereka dengan Tuhan.

Namun, di balik narasi kegagalan ini, tersirat juga sebuah tema yang lebih dalam: anugerah dan ketekunan Tuhan dalam menyampaikan peringatan-Nya. Meskipun umat-Nya seringkali berpaling, Tuhan terus mengutus nabi-Nya untuk membimbing dan memperingatkan. Ayat ini mengingatkan kita bahwa Tuhan selalu memberikan kesempatan untuk kembali kepada-Nya. Sikap "merendahkan diri" yang ditolak oleh Zedekia adalah kunci untuk pemulihan. Kerendahan hati di hadapan Tuhan membuka pintu bagi penerimaan bimbingan-Nya, pengampunan-Nya, dan pemulihan-Nya.

Kisah Zedekia dalam 2 Tawarikh 36:11 adalah cerminan abadi dari perjuangan antara kesombongan dan kerendahan hati, pemberontakan dan ketaatan. Ini adalah pelajaran berharga bagi setiap generasi, mengingatkan kita akan pentingnya mendengarkan suara Tuhan, terutama ketika disampaikan melalui peringatan yang mungkin tidak nyaman, dan pentingnya untuk senantiasa memilih jalan ketaatan. Pada akhirnya, ayat ini menggarisbawahi bahwa keputusan untuk mendengarkan atau menolak firman Tuhan memiliki dampak yang menentukan, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitar kita.