Ayat 2 Tawarikh 36:4 merangkum momen krusial dalam sejarah kerajaan Yehuda, yang ditandai oleh campur tangan asing dan penggantian pemimpin secara paksa. Kejadian ini bukan hanya sekadar pergantian kekuasaan politik, tetapi juga mencerminkan keruntuhan moral dan spiritual yang semakin mendalam di kalangan bangsawan dan raja-raja Yehuda pada masa itu.
Pada periode ini, Kerajaan Mesir di bawah Firaun Necho II mulai menunjukkan ambisinya untuk menguasai wilayah-wilayah di Kanaan, termasuk Yehuda. Setelah mengalahkan Raja Yosia dalam pertempuran di Megido (seperti yang disebutkan dalam 2 Raja-raja 23:29-30), Necho tampaknya memiliki kendali atas Yehuda. Alih-alih membiarkan garis keturunan Daud berkuasa secara mandiri, ia memilih untuk menempatkan raja boneka yang dapat ia kontrol.
Raja yang digulingkan adalah Yoahas, putra Yosia, yang sebelumnya telah dinobatkan oleh rakyat Yehuda. Namun, Necho tidak menganggap Yoahas layak untuk memimpin atau tidak ingin memberikan otonomi kepadanya. Necho kemudian membawa Yoahas ke Mesir sebagai tawanan, sebuah tindakan yang menunjukkan superioritas dan kekuatan Mesir pada saat itu. Sejarah mencatat Yoahas akhirnya mati di pengasingan di Mesir.
Sebagai penggantinya, Necho mengangkat Eliakim, saudara Yoahas, untuk menduduki takhta Yehuda. Pengangkatan ini dilakukan atas kehendak Mesir, bukan atas pilihan rakyat Yehuda. Ini adalah indikasi jelas bahwa Yehuda telah kehilangan kedaulatannya dan kini menjadi negara bawahan Mesir. Perubahan nama Eliakim menjadi Yoyakim bukanlah sekadar penggantian nama seremonial, melainkan sebuah penegasan atas kekuasaan Necho dan upaya untuk memutus hubungan simbolis dengan masa lalu atau identitas Yehuda yang merdeka.
Peristiwa ini menggambarkan situasi politik yang sangat tidak stabil. Raja-raja Yehuda yang berkuasa pada akhir masa kenabian seringkali lemah, korup, dan lebih mementingkan kesenangan pribadi daripada kesejahteraan umat dan ketaatan kepada TUHAN. Penggantian raja yang dipaksakan oleh kekuatan asing ini menjadi salah satu penanda utama dari kemerosotan yang menuju kehancuran Yerusalem dan pembuangan besar-besaran ke Babel.
Ayat ini juga mengingatkan kita bahwa pemilihan pemimpin dapat sangat dipengaruhi oleh kekuatan eksternal. Namun, implikasi teologisnya lebih dalam: bagaimana para pemimpin yang dipilih dan ditunjuk oleh kekuatan duniawi seringkali tidak mencerminkan kehendak ilahi. Kisah ini menjadi pengingat akan konsekuensi dari ketidaksetiaan bangsa kepada TUHAN, yang seringkali berujung pada penindasan dan kehancuran dari luar.