Ayat 2 Tawarikh 7:5 mencatat momen puncak dari perayaan pentahbisan Bait Suci yang dibangun oleh Raja Salomo. Gambaran ini memberikan kesan yang luar biasa tentang kemegahan, kekayaan, dan pengabdian yang ditunjukkan oleh Israel pada masa keemasan mereka. Persembahan korban damai yang begitu masif ini bukan sekadar ritual keagamaan biasa, melainkan sebuah pernyataan iman yang mendalam dan pengakuan atas kedaulatan serta kemurahan Tuhan.
Makna Persembahan Damai
Korban damai, atau dalam bahasa Ibrani disebut *shelamim*, memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar kurban bakaran. Korban ini merupakan ungkapan sukacita, ucapan syukur, dan pemeliharaan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan. Sebagian dari korban ini dipersembahkan kepada Tuhan, sebagian dibakar, dan sebagian lagi dikonsumsi oleh keluarga yang mempersembahkan, para imam, dan orang-orang miskin. Dengan mengonsumsi sebagian dari korban tersebut, umat Allah secara simbolis mengambil bagian dalam persekutuan dengan Tuhan.
Angka yang disebutkan dalam 2 Tawarikh 7:5 – dua puluh dua ribu lembu dan seratus dua puluh ribu domba – sungguh mencengangkan. Ini menunjukkan skala perayaan yang luar biasa dan sumber daya yang sangat besar yang dialokasikan untuk menghormati Tuhan. Persembahan ini bukan hanya tentang kuantitas, tetapi juga tentang kualitas dan ketulusan hati. Salomo dan seluruh rakyat tidak memberikan sembarang hewan, melainkan hewan yang terbaik dari ternak mereka.
Perayaan Pentahbisan Bait Suci
Momen ini terjadi setelah Bait Suci selesai dibangun dan Kemah Suci, tabut perjanjian yang berisi loh-loh hukum, ditempatkan di dalamnya. Keberadaan tabut perjanjian di Bait Suci menandakan bahwa kehadiran Tuhan kini bersemayam di tengah umat-Nya dengan cara yang lebih permanen dan terpusat. Pentahbisan ini adalah peristiwa yang sangat penting bagi seluruh bangsa Israel, yang menandai era baru dalam ibadah dan hubungan mereka dengan Tuhan.
Raja Salomo sendiri memimpin upacara ini dengan penuh hikmat dan kerendahan hati. Ia menyadari bahwa semua kemakmuran dan kemampuan untuk membangun Bait Suci berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, dengan sukarela dan penuh sukacita, ia bersama seluruh rakyat mempersembahkan korban yang berlimpah sebagai tanda pengakuan dan ucapan syukur. Tindakan ini menegaskan bahwa seluruh kekayaan dan sumber daya yang mereka miliki dipersembahkan untuk kemuliaan Tuhan.
Pesan untuk Masa Kini
Meskipun kita tidak lagi melakukan korban sembelihan seperti pada zaman Perjanjian Lama, prinsip di balik persembahan Raja Salomo tetap relevan. 2 Tawarikh 7:5 mengajarkan kita tentang pentingnya mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan, baik dalam bentuk waktu, talenta, materi, maupun pengabdian diri. Persembahan kita hari ini mungkin bukan lagi lembu dan domba, melainkan tindakan kasih, pelayanan, kesaksian iman, dan ketaatan yang tulus kepada firman-Nya.
Ayat ini juga mengingatkan kita bahwa ibadah yang sejati datang dari hati yang bersyukur dan penuh penyerahan diri. Ketika kita benar-benar menghargai berkat-berkat Tuhan dalam hidup kita, termasuk keselamatan yang diberikan melalui Yesus Kristus, respons alami kita adalah ingin memberikan kembali yang terbaik untuk memuliakan nama-Nya. Penting bagi kita untuk terus "mengalihkan pentasrahan" kita kepada Tuhan, mengakui bahwa segala sesuatu yang baik datang dari Dia dan bahwa seluruh hidup kita seharusnya diarahkan untuk kemuliaan-Nya.