"Aku telah menulis sedikit kepada jemaat, tetapi Diotrefes, yang suka menjadi terkemuka di antara mereka, tidak mau menerima kami."
Ayat 3 Yohanes 1:9 ini memberikan gambaran yang menarik tentang dinamika dalam jemaat pada masa awal Kekristenan. Yohanes, rasul yang penuh kasih dan dikenal sebagai "murid yang dikasihi Yesus", menulis surat ini kepada Gayus, seorang rekan seiman yang ia kasihi. Namun, dalam suratnya, Yohanes menyoroti sebuah tantangan yang dihadapi oleh para penginjil yang datang mengunjungi jemaat tersebut, yaitu sosok bernama Diotrefes.
Diotrefes digambarkan sebagai pribadi yang memiliki keinginan kuat untuk mendominasi dan menjadi yang terutama di antara anggota jemaat. Sifat ambisius dan keinginan untuk memegang kendali ini membuatnya bertindak melawan otoritas gereja yang lebih luas. Yohanes secara spesifik menyebutkan bahwa Diotrefes "tidak mau menerima kami", yang kemungkinan merujuk pada para pelayan Tuhan atau utusan yang dikirim oleh Yohanes sendiri. Sikap penolakan ini bukan hanya sekadar perbedaan pendapat, tetapi menunjukkan penolakan terhadap persekutuan dan kepemimpinan yang diwakili oleh Yohanes.
Lebih lanjut, Yohanes juga menyebutkan bahwa Diotrefes "mengoceh tentang kami dengan perkataan-perkataan jahat". Ini menunjukkan bahwa Diotrefes tidak hanya menolak, tetapi juga aktif menyebarkan fitnah atau pandangan negatif tentang Yohanes dan rekan-rekannya. Perilaku seperti ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani tentang kasih, kerendahan hati, dan saling menghormati. Ini adalah contoh nyata bagaimana egoisme dan keinginan untuk berkuasa dapat merusak persekutuan gereja dan menyebarkan perpecahan.
Meskipun ayat ini berfokus pada tindakan negatif Diotrefes, konteksnya juga mengajarkan kita tentang pentingnya pentingnya prinsip kepemimpinan yang melayani dan kerendahan hati dalam gereja. Sebaliknya, Yohanes memuji Gayus karena menerima para pelayan Tuhan dan mendukung mereka. Pesan ini relevan hingga kini, mengingatkan kita untuk senantiasa waspada terhadap godaan kekuasaan dan ego, serta untuk selalu mengutamakan kasih dan kebenaran dalam setiap interaksi, terutama dalam persekutuan orang percaya.
Kita dipanggil untuk meneladani kasih dan kerendahan hati, bukan untuk mendominasi atau mencari kemuliaan diri sendiri. Ketika kita menghadapi situasi serupa, kita perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah tindakan kita mencerminkan kasih Kristus? Apakah kita memuliakan diri sendiri, atau memuliakan Tuhan? Ketaatan pada ajaran Kristus seharusnya mengarahkan kita untuk melayani sesama dengan tulus, dan bukan untuk mencari kedudukan tinggi dengan mengorbankan keharmonisan.