Amsal 26:22: Rahasia Bibir Menggoreng Diri

"Perkataan seorang pengumpat adalah seperti makanan yang lezat, orang mengunyahnya sampai ke dalam perut." (Amsal 26:22)

Ayat ini, Amsal 26:22, memberikan sebuah perumpamaan yang cukup tajam dan relevan tentang bagaimana perkataan seorang pengumpat dapat diterima dan bahkan dinikmati oleh pendengarnya. Seringkali, kita cenderung menganggap fitnah dan gosip sebagai sesuatu yang buruk dan menjijikkan. Namun, Salomo dengan bijak menggambarkan kebalikannya: perkataan seorang pengumpat itu "seperti makanan yang lezat," dan orang-orang justru "mengunyahnya sampai ke dalam perut." Ini bukan berarti bahwa gosip itu baik atau benar secara moral, melainkan menggambarkan daya tariknya yang tersembunyi dan bagaimana ia bisa merasuk ke dalam pikiran dan hati seseorang.

Ilustrasi visualisasi bagaimana kata-kata dapat terasa menggiurkan namun berpotensi merusak dari dalam.

Daya tarik ini seringkali datang dari unsur sensasional, rahasia yang dibongkar, atau kritik yang tajam terhadap orang lain. Perkataan seperti ini dapat membangkitkan rasa ingin tahu, rasa superioritas (karena kita 'tahu' sesuatu yang orang lain tidak), atau bahkan rasa kepuasan sesaat karena 'kejatuhan' orang lain. Pengumpat lihai dalam merangkai kata-kata agar terdengar menarik, seperti koki yang menyajikan hidangan yang menggugah selera. Mereka tidak menyajikan kebenaran yang utuh, melainkan bumbu-bumbu sensasi yang membuat pendengar ketagihan.

Namun, gambaran "mengunyahnya sampai ke dalam perut" juga menyiratkan bahwa pengaruh perkataan tersebut tidak berhenti di telinga. Ia merasuk, dicerna, dan akhirnya menjadi bagian dari pemikiran, penilaian, dan bahkan tindakan seseorang. Fitnah dan gosip, meskipun awalnya terasa 'lezat', dapat menumbuhkan prasangka, kebencian, dan hilangnya kepercayaan. Ini adalah racun halus yang perlahan merusak hubungan antarmanusia dan kesehatan rohani. Mengunyah makanan yang tidak sehat mungkin tidak langsung mematikan, tetapi dampaknya pada tubuh tentu akan terasa dalam jangka panjang. Begitu pula dengan gosip, ia menggerogoti kebaikan hati dan kejujuran.

Oleh karena itu, Amsal 26:22 bukan sekadar deskripsi perilaku, melainkan sebuah peringatan keras. Kita perlu waspada terhadap daya tarik kata-kata yang bersifat menghakimi, membongkar aib, atau sekadar sensasional. Alih-alih menikmati atau meneruskan gosip, kita dipanggil untuk menjaga lidah kita sendiri dan menjadi pendengar yang bijak. Belajar untuk mengidentifikasi perkataan yang bersifat merusak dan menolak untuk 'mengunyahnya' adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih sehat dan relasi yang tulus. Menghindari menjadi bagian dari rantai gosip adalah kebijaksanaan yang akan menjaga kita dari dampak buruknya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.