Kitab Ayub adalah salah satu kitab kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama yang menggali pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang penderitaan, keadilan ilahi, dan iman di hadapan kesulitan yang luar biasa. Dalam pasal 18, kita mendapati dialog antara Ayub dan sahabat-sahabatnya. Sahabat Ayub, khususnya Bildad, menyampaikan pandangan teologis yang umum pada masanya, yaitu bahwa penderitaan yang berat pasti disebabkan oleh dosa yang tersembunyi. Dalam ayat ketiga pasal ini, Ayub menyuarakan kepedihan dan frustrasinya terhadap pandangan sempit yang diarahkan kepadanya.
Ayub merasa diperlakukan tidak adil. Pertanyaan retorisnya, "Mengapakah kami dianggap seperti binatang, dan dianggap rendah di mata kamu?", mencerminkan perasaan terhina dan kehilangan martabat. Dia merasa bahwa sahabat-sahabatnya tidak melihatnya sebagai manusia yang berakal budi dan beriman, melainkan sebagai makhluk rendah yang pantas dicemooh, seolah-olah dia adalah binatang yang bertindak tanpa pertimbangan atau moralitas.
Perkataan ini bukan sekadar keluhan biasa. Ini adalah teriakan jiwa yang terluka karena tidak dipahami, dihakimi secara gegabah, dan direndahkan oleh orang-orang yang seharusnya memberikan dukungan dan pengertian. Dalam konteks penderitaan Ayub yang ekstrem – kehilangan harta benda, anak-anak, dan kesehatannya – tuduhan tersirat dari sahabat-sahabatnya bahwa dia pasti seorang pendosa besar terasa seperti garam yang ditaburkan di atas luka.
Ayub menyoroti kesalahpahaman fundamental dalam argumen para sahabatnya. Mereka berasumsi bahwa ada hubungan sebab-akibat yang sederhana dan langsung antara dosa dan penderitaan. Bagi mereka, penderitaan adalah bukti pasti akan kesalahan. Namun, Ayub, melalui pengalamannya yang pahit, mulai mempertanyakan ketegasan dan kesederhanaan pandangan tersebut. Dia merasa bahwa dia sedang dihakimi berdasarkan asumsi, bukan berdasarkan kebenaran yang sesungguhnya.
Dalam pandangan Ayub, "binatang" seringkali diasosiasikan dengan insting, ketiadaan kesadaran moral, atau ketidakmampuan berpikir rasional. Ketika Ayub dibandingkan dengan binatang, itu berarti dia dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memahami keadilan, tidak mampu membedakan benar dan salah, atau bahkan tidak pantas mendapatkan belas kasihan. Ini adalah bentuk dehumanisasi yang sangat menyakitkan.
Kitab Ayub, melalui kata-kata Ayub di pasal 18:3 ini, mengingatkan kita akan pentingnya empati dan kehati-hatian dalam menilai orang lain, terutama ketika mereka sedang menghadapi kesulitan. Menjatuhkan penghakiman tanpa pemahaman yang mendalam dapat melukai lebih dalam daripada penderitaan itu sendiri. Kebenaran seringkali lebih kompleks daripada apa yang terlihat di permukaan, dan respons yang paling tepat bukanlah kecaman cepat, melainkan kehadiran yang penuh kasih dan pengertian. Kita dipanggil untuk melihat martabat dalam setiap individu, bukan merendahkannya, bahkan ketika mereka sedang bergumul dengan ujian hidup.
Ayub 18:3 tetap relevan hingga kini, mengajarkan kita untuk selalu mendekati sesama dengan hati yang terbuka, mengakui kompleksitas kehidupan manusia, dan menolak godaan untuk menghakimi orang lain seolah-olah mereka "binatang" yang tidak memiliki nilai atau martabat. Iman sejati tidak terletak pada kemampuan untuk menghakimi, tetapi pada kemampuan untuk mengasihi dan memberikan dukungan.