Ayub 19:17

"Napas istrilah ini sudah seperti makanan bagi saya, dan percakapan orang-orang asing ini seperti bagi mulut saya."

Simbol kekuatan dan ketahanan

Ayub 19:17 merupakan sebuah ungkapan yang begitu kuat dari kedalaman penderitaan seorang manusia. Dalam masa-masa tergelap hidupnya, ketika sahabat-sahabatnya pun berpaling dan menyalahkan dirinya, Ayub mengungkapkan bagaimana rasa sakit dan kata-kata pedih itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaannya, seolah-olah menjadi asupan hariannya.

Frasa "napas istriilah ini sudah seperti makanan bagi saya" menggambarkan sebuah konsumsi konstan atas penderitaan. Makanan memberikan energi dan menopang kehidupan, namun di sini, penderitaanlah yang tampaknya menopang eksistensi Ayub. Ini menunjukkan betapa dalamnya rasa sakit yang ia alami, yang bukan hanya sekadar peristiwa sesaat, melainkan sebuah kondisi yang meresap ke dalam setiap aspek kehidupannya, bahkan sampai ke pernapasan yang paling dasar.

Selanjutnya, ucapan Ayub mengenai "percakapan orang-orang asing ini seperti bagi mulut saya" menyoroti bagaimana perkataan orang lain, yang seharusnya bisa memberikan penghiburan atau setidaknya netral, justru terasa pahit dan merusak. Kata-kata dari orang-orang yang dianggapnya asing atau bahkan yang seharusnya dekat dengannya, diubah menjadi semacam bumbu yang pahit yang selalu hadir dalam "mulut" jiwanya. Ini mencerminkan perasaan dikhianati, disalahpahami, dan diperlakukan dengan ketidakadilan yang mendalam.

Meskipun konteksnya adalah penderitaan yang luar biasa, ungkapan Ayub ini juga bisa menjadi pengingat bagi kita tentang kekuatan kata-kata. Kata-kata memiliki kekuatan untuk membangun atau menghancurkan. Seperti Ayub yang merasakan perkataan orang lain begitu menekan, kita pun perlu berhati-hati dalam berbicara. Seringkali, kita tidak menyadari dampak dari perkataan kita terhadap orang lain. Terutama bagi mereka yang sedang bergumul dengan kesulitan, kata-kata yang penuh kasih, pengertian, dan dukungan bisa menjadi penyejuk yang sangat berarti, sementara kritik atau tuduhan yang tidak berdasar dapat menambah beban penderitaan.

Renungan dari ayat ini mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap kondisi emosional orang lain. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, mari kita jadikan kata-kata kita sebagai sumber kekuatan, bukan sebagai beban tambahan. Berusaha memahami, mendengarkan, dan memberikan kata-kata yang membangun adalah tindakan yang sangat mulia, yang mampu mengubah "makanan" penderitaan menjadi "minuman" harapan bagi jiwa yang sedang haus.

Mungkin kita tidak pernah mengalami penderitaan sehebat Ayub, namun kita semua pernah merasakan dampak negatif dari perkataan yang menyakitkan. Ayat ini mendorong kita untuk menjadi pribadi yang lebih penuh kasih dan bijak dalam bertutur kata, memastikan bahwa "napas" kita adalah napas kehidupan dan perkataan kita adalah kabar baik bagi sesama.