"Kalau ia memakan hartanya, ia akan memuntahkannya pula; Allah akan mengeluarkannya dari perutnya." (Ayub 20:13)
Ayat Alkitab dari Kitab Ayub, pasal 20 ayat 13, memberikan sebuah gambaran yang kuat dan gamblang mengenai konsekuensi dari hidup yang didasarkan pada pencarian dan pemeliharaan kekayaan duniawi semata. Dalam penuturannya tentang kejatuhan orang fasik, Ayub menggambarkan betapa rapuh dan tidak memuaskan harta benda yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Kekayaan yang Hilang Begitu Saja
Kutipan ini bukan sekadar kata-kata, melainkan sebuah peringatan mendalam. Jika seseorang dengan rakus menimbun kekayaan, seolah-olah itu adalah sumber kebahagiaan dan keamanan utama, maka pada akhirnya kekayaan itu akan menjadi beban, bahkan menjijikkan. Frasa "memakan hartanya, ia akan memuntahkannya pula" menyiratkan sebuah proses kehancuran yang tak terhindarkan. Kekayaan tersebut, yang seharusnya membawa kemudahan, justru berbalik menjadi sumber penderitaan, mungkin melalui kehilangan mendadak, sakit penyakit yang menghabiskan biaya, atau ketakutan terus-menerus akan kehilangan.
Dalam konteks Ayub, seringkali kekayaan yang didapat dengan cara-cara curang atau tidak jujur tidak akan bertahan lama. Bahkan jika kekayaan itu tampak melimpah, ia tidak akan memberikan kepuasan sejati. Sebaliknya, ia bisa membawa kegelisahan, kecemasan, dan rasa bersalah. Bayangkan seseorang yang bekerja keras untuk membangun kerajaan bisnis, namun didasarkan pada penipuan. Pada awalnya, ia mungkin menikmati kemewahan dan kekuasaan, tetapi batinnya terus dihantui oleh ketakutan akan terbongkarnya kejahatan tersebut. Ketika akhirnya terbongkar, ia akan kehilangan segalanya, dan apa yang pernah dinikmatinya justru terasa pahit.
Campur Tangan Ilahi
Bagian kedua ayat ini, "Allah akan mengeluarkannya dari perutnya," menunjukkan bahwa kehancuran ini bukanlah sekadar kebetulan atau nasib buruk semata, melainkan campur tangan ilahi. Tuhan, dalam keadilan-Nya, akan menarik kembali apa yang telah diperoleh secara tidak benar. Ini bukan berarti Tuhan iri terhadap kekayaan manusia, melainkan bahwa Dia menjunjung tinggi keadilan dan kesucian. Harta benda yang diperoleh dengan mengorbankan orang lain atau melanggar prinsip-prinsip moral akan pada akhirnya dikembalikan, atau paling tidak, tidak akan dapat dinikmati oleh pemiliknya.
Penting untuk merenungkan ayat ini bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai panduan etika. Ini mengajarkan kita untuk mencari kekayaan dengan cara yang benar, membagikan berkat kita, dan tidak menjadikan harta benda sebagai tujuan akhir. Kekayaan yang sejati bukanlah tumpukan emas dan perak, melainkan hati yang damai, hubungan yang baik dengan sesama, dan yang terpenting, hubungan yang benar dengan Sang Pencipta. Ayat Ayub 20:13 mengingatkan kita bahwa kepemilikan materi yang tidak disertai berkat spiritual hanyalah ilusi yang pada akhirnya akan lenyap, meninggalkan kekosongan yang menyakitkan.
Mari kita pelajari dari Ayub dan hindari jebakan cinta akan uang. Fokuslah pada nilai-nilai abadi yang tidak dapat dirampas oleh siapapun, termasuk oleh diri kita sendiri melalui keserakahan.