Permenungan atas Kemakmuran Orang Fasik
Ayat Ayub 21:24 menyajikan gambaran yang provokatif. Ia menggambarkan sebuah kenyataan yang seringkali membingungkan: orang-orang yang hidupnya tidak sesuai dengan ajaran moral atau spiritual, orang-orang yang seringkali kita labeli sebagai "fasik", justru tampak menikmati keberlimahan fisik dan kesuburan dalam hidup mereka. Deskripsi tentang tubuh yang penuh lemak, anggota tubuh yang gemuk, dan pertumbuhan yang subur menyiratkan kesehatan, kekuatan, dan kemakmuran material. Gambaran ini kontras dengan pemahaman umum atau harapan banyak orang yang percaya bahwa kebenaran akan selalu berbanding lurus dengan keberuntungan dan kesuksesan duniawi.
Dalam konteks kitab Ayub, ayat ini muncul sebagai bagian dari perdebatan Ayub dengan teman-temannya. Teman-teman Ayub berpegang teguh pada prinsip bahwa penderitaan adalah hukuman ilahi atas dosa. Mereka melihat kemalangan Ayub sebagai bukti bahwa ia pasti telah melakukan kesalahan besar. Namun, Ayub terus-menerus mempertanyakan pandangan sederhana ini, dan ayat seperti 21:24 menjadi salah satu argumennya untuk menunjukkan bahwa dunia tidak selalu bekerja sesuai dengan pola sebab-akibat yang linier antara kebaikan dan kemakmuran, atau antara kejahatan dan kehancuran seketika.
Pertanyaan yang timbul dari ayat ini bukan sekadar tentang mengapa orang jahat bisa terlihat makmur. Ini adalah pertanyaan yang lebih mendalam tentang keadilan ilahi, tentang sifat keberuntungan, dan tentang tujuan hidup. Mengapa ada orang yang hidupnya tampaknya diberkati secara materi, sementara orang yang saleh justru bergumul dengan kesulitan? Ayat ini memaksa kita untuk merenungkan lebih dalam daripada sekadar melihat permukaan. Kemakmuran fisik yang digambarkan mungkin tidak mencerminkan kedamaian batin, kebahagiaan sejati, atau hubungan yang baik dengan Tuhan.
Ada banyak faktor yang memengaruhi kehidupan seseorang, termasuk kebaikan atau kejahatan mereka. Faktor-faktor seperti keberuntungan, keadaan ekonomi, lingkungan sosial, genetika, dan bahkan pilihan-pilihan yang dibuat oleh orang lain dapat berkontribusi pada kemakmuran atau kemiskinan seseorang. Kitab Ayub pada akhirnya membawa kita pada pemahaman bahwa kebijaksanaan ilahi jauh melampaui pemahaman manusia, dan bahwa jalan Tuhan seringkali tidak dapat diprediksi oleh logika sederhana.
Oleh karena itu, ayat Ayub 21:24 bukanlah ajakan untuk meniru atau mengagumi gaya hidup orang fasik. Sebaliknya, ini adalah undangan untuk menggali lebih dalam, untuk tidak menghakimi berdasarkan keberuntungan duniawi semata, dan untuk meyakini bahwa ada dimensi kebenaran dan keadilan yang lebih tinggi yang mungkin tidak sepenuhnya terlihat dalam kehidupan ini. Perenungan atas ayat ini mendorong kita untuk fokus pada integritas pribadi, hubungan dengan yang ilahi, dan kepuasan batin, daripada hanya tergiur oleh kilauan kemakmuran yang bisa jadi semu atau sementara.