Dari kota orang-orang yang sekarat terdengar rintihan, dan dari jiwa orang yang terlukai kedengaran keluhan, tetapi Allah tidak membenarkan pelanggaran.
Ayat Ayub 24:12 menyoroti sebuah realitas yang seringkali terasa menyakitkan namun tak terhindarkan dalam kehidupan manusia: rintihan dan keluhan yang muncul dari penderitaan. Kata-kata ini membangkitkan gambaran tentang mereka yang sedang menghadapi kesulitan luar biasa, suara-suara yang tertekan dari lubuk hati yang paling dalam, mencari kelegaan dan keadilan. Pengalaman penderitaan adalah bagian dari perjalanan hidup yang dihadapi oleh setiap individu, terlepas dari latar belakang atau status sosial. Dalam momen-momen tergelap, ketika keputusasaan mulai menyelimuti, suara-suara ini muncul sebagai ekspresi dari luka yang mendalam, kesakitan yang tak terucap, dan kerinduan akan pemulihan.
Namun, ayat ini tidak berhenti pada deskripsi penderitaan semata. Ada sebuah pernyataan tegas yang menyertainya: "tetapi Allah tidak membenarkan pelanggaran." Pernyataan ini memberikan dimensi teologis yang penting. Di tengah segala hiruk-pikuk ketidakadilan dan kesulitan yang dialami manusia, ada sebuah keyakinan bahwa pelanggaran, tindakan yang menyimpang dari kebenaran dan kebaikan, tidak akan dibenarkan oleh Sang Pencipta. Ini bukan berarti penderitaan itu sendiri adalah pembenaran bagi pelanggaran, melainkan bahwa kesengsaraan yang dialami dapat menjadi saksi bisu dari adanya pelanggaran yang terjadi.
Dalam dunia yang seringkali tampak tidak adil, di mana orang yang berbuat salah terkadang tampak makmur sementara yang tertindas menderita, ayat ini menawarkan pandangan yang berbeda. Ia mengingatkan kita bahwa ada standar kebenaran yang lebih tinggi, sebuah acuan ilahi yang melampaui penilaian manusia yang terbatas. Rintihan dari kota orang yang sekarat dan keluhan dari jiwa yang terlukai bukanlah suara yang tidak terdengar. Sebaliknya, ayat ini menyiratkan bahwa semua ini sampai kepada Allah, dan Ia tidak akan membenarkan tindakan yang melanggar hukum-Nya.
Ini bisa diartikan dalam beberapa cara. Pertama, Allah melihat dan mendengar penderitaan yang disebabkan oleh pelanggaran. Kedua, Allah tidak akan membiarkan pelanggaran itu berlalu tanpa pertanggungjawaban. Ada sebuah keadilan ilahi yang beroperasi, meskipun tidak selalu terlihat secara langsung oleh mata manusia. Pemahaman ini dapat memberikan kekuatan dan penghiburan bagi mereka yang tengah bergumul dengan penderitaan yang diakibatkan oleh ketidakadilan orang lain. Ini adalah pengingat bahwa meskipun duniawi mungkin penuh dengan cacat, ada ketetapan ilahi yang memastikan bahwa kebenaran pada akhirnya akan ditegakkan.
Di era modern yang serba cepat ini, kita masih sering mendengar "rintihan" dan "keluhan" dari berbagai penjuru dunia. Tragedi kemanusiaan, ketidakadilan sosial, dan penderitaan individu terus terjadi. Ayub 24:12 mengajak kita untuk tidak hanya merasakan empati terhadap mereka yang menderita, tetapi juga untuk merenungkan akar dari penderitaan tersebut. Seringkali, penderitaan adalah konsekuensi langsung dari tindakan melanggar prinsip-prinsip moral dan etika.
Ayat ini juga mendorong kita untuk memiliki harapan. Meskipun keadilan di dunia mungkin terasa lambat atau tidak sempurna, kita dapat percaya pada keadilan Allah yang absolut. Ini adalah panggilan untuk hidup dengan integritas, menjauhi pelanggaran, dan memperjuangkan kebenaran. Dengan demikian, kita tidak hanya terhindar dari menjadi sumber penderitaan bagi orang lain, tetapi juga menjadi bagian dari solusi yang membawa kelegaan dan pemulihan. Rintihan dan keluhan adalah pengingat akan kerapuhan eksistensi manusia, namun penegasan bahwa Allah tidak membenarkan pelanggaran adalah janji akan adanya keadilan dan pemulihan pada akhirnya.