Ayub 27:20

"Ia menghamburkan kepadanya kekayaan yang melimpah, ia dilemparkan ke dalam kegelapan, ia lenyap seperti air."

Firman Tuhan dalam Kitab Ayub pasal 27 ayat 20 menawarkan sebuah gambaran yang kuat dan seringkali membingungkan. Di satu sisi, ayat ini berbicara tentang "kekayaan yang melimpah" yang dihamburkan. Frasa ini bisa diinterpretasikan sebagai berkat, kesuksesan, atau mungkin pencapaian materi yang luar biasa. Namun, ironisnya, gambaran positif ini segera diikuti oleh perumpamaan yang kontras: "ia dilemparkan ke dalam kegelapan, ia lenyap seperti air." Ini menciptakan sebuah paradoks yang meminta perhatian kita untuk merenungkan lebih dalam.

Dalam konteks perdebatan Ayub dengan teman-temannya, ayat ini mungkin merujuk pada nasib orang fasik. Para sahabat Ayub seringkali berargumen bahwa penderitaan yang dialami Ayub adalah bukti dosanya. Sebaliknya, mereka memproyeksikan keberuntungan dan kemakmuran sebagai tanda kebenaran ilahi. Ayat ini bisa jadi merupakan bagian dari argumen yang menyatakan bahwa bagi orang yang tidak benar, segala kekayaan dan keberuntungan duniawi pada akhirnya akan sirna, tenggelam dalam kehancuran yang tak terelakkan. Kekayaan yang tampak melimpah itu ternyata rapuh, tidak mampu melindungi dari murka atau penghakiman ilahi.

Perumpamaan "lenyap seperti air" sangatlah deskriptif. Air, meskipun esensial bagi kehidupan, juga bisa menghilang dengan cepat melalui penguapan atau penyerapan. Ia tidak memiliki bentuk yang tetap dan mudah mengalir ke mana saja. Demikian pula, kekayaan atau kemuliaan yang tidak didasarkan pada fondasi yang kokoh, entah itu kebenaran, integritas, atau hubungan yang benar dengan Tuhan, akan mudah lenyap tanpa jejak. Ia tidak permanen, tidak dapat diandalkan untuk masa depan.

Mari kita coba pahami lebih jauh makna "dilemparkan ke dalam kegelapan." Kegelapan dalam narasi Alkitab seringkali diasosiasikan dengan ketidaktahuan, kehancuran, kesesatan, dan pemisahan dari terang ilahi. Dilemparkan ke dalam kegelapan berarti kehilangan arah, kehilangan harapan, dan mengalami kehancuran total. Ketika kekayaan material menjadi satu-satunya fokus, dan tidak ada nilai-nilai spiritual atau moral yang mendasarinya, maka ketika kekayaan itu hilang, seseorang akan benar-benar "terlempar" ke dalam kegelapan eksistensial.

Ayub 27:20 mengajarkan kita sebuah pelajaran penting tentang prioritas. Keberlimpahan yang sejati bukanlah sekadar akumulasi harta benda, melainkan anugerah ilahi yang disertai dengan hikmat, kebenaran, dan hubungan yang erat dengan Pencipta. Kekayaan yang tidak dibarengi dengan fondasi spiritual yang kuat akan terbukti fana dan menyesatkan. Kita dipanggil untuk mencari kekayaan yang tak akan lenyap, yaitu persekutuan dengan Tuhan dan kehidupan yang berkenan kepada-Nya. Hanya dengan demikian, kita dapat mengalami keberlimpahan yang sejati, yang tidak akan pernah dilemparkan ke dalam kegelapan atau lenyap seperti air.

Ayub 27:20