Ayat dari Kitab Ayub, pasal 28 ayat ke-16, secara gamblang menggambarkan betapa tak ternilainya sebuah harta yang jauh melampaui kekayaan materi. Dalam perumpamaan yang kuat, penulis Ayub membandingkan nilai hikmat ilahi dengan emas dari Ofir, permata yang paling berharga, dan batu saphir yang mempesona. Namun, perbandingan ini bukanlah untuk menyejajarkan keduanya, melainkan untuk menegaskan bahwa hikmat sejati tidak dapat dibeli, ditukar, atau diperoleh dengan kekayaan duniawi mana pun. Emas Ofir dikenal pada masanya sebagai sumber kekayaan dan kemewahan yang luar biasa, sebuah simbol kemakmuran yang paling didambakan. Demikian pula, permata dan saphir merupakan perhiasan yang paling indah dan mahal, melambangkan keindahan dan prestise yang tinggi.
Namun, hikmat ilahi, yang datang dari sumber yang lebih tinggi, berdiri pada tingkat yang sama sekali berbeda. Ayat ini bukan hanya tentang nilai ekonomi, tetapi tentang nilai esensial dan transformatif dari kebijaksanaan yang diberikan oleh Tuhan. Kekayaan materi, betapapun besarnya, bersifat sementara dan dapat hilang. Ia bisa dibeli, dijual, atau dicuri. Emas dapat habis, permata bisa retak, dan harga pasar bisa berfluktuasi. Di sisi lain, hikmat ilahi memberikan fondasi yang kokoh, pemahaman yang mendalam, dan kemampuan untuk menavigasi kompleksitas kehidupan dengan benar. Ia adalah penuntun dalam setiap langkah, memberikan perspektif yang jernih di tengah kekacauan, dan menuntun pada keputusan yang bijaksana.
Dalam dunia modern yang seringkali terobsesi dengan pencapaian material dan kesuksesan finansial, ayat ini mengingatkan kita akan prioritas yang sesungguhnya. Pencarian akan kekayaan materi dapat menjadi tujuan yang menyita seluruh hidup, namun seringkali ia tidak membawa kepuasan yang langgeng. Sebaliknya, hikmat ilahi adalah kunci menuju ketenangan batin, hubungan yang sehat, dan tujuan hidup yang bermakna. Ia memungkinkan kita untuk melihat melampaui permukaan hal-hal duniawi dan memahami kebenaran yang abadi. Hikmat ilahi bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi tentang penerapan pengetahuan tersebut dengan cara yang selaras dengan kehendak Tuhan dan untuk kebaikan sesama.
Bagaimana kita bisa memperoleh harta yang tak ternilai ini? Kitab Ayub sendiri menyarankan bahwa sumber hikmat adalah Tuhan (Ayub 28:23-28). Mencari hikmat ilahi berarti mendekatkan diri kepada Sang Pemberi hikmat melalui doa, perenungan firman-Nya, dan ketaatan pada ajaran-Nya. Ini adalah sebuah proses berkelanjutan yang membutuhkan kerendahan hati dan ketekunan. Ketika kita mengutamakan pencarian hikmat daripada akumulasi harta benda, kita berinvestasi pada sesuatu yang tidak akan pernah hilang, sesuatu yang memperkaya jiwa kita dan memberikan panduan yang tak ternilai dalam perjalanan hidup kita. Emas Ofir mungkin membuat kita kaya, tetapi hikmat ilahi membuat kita bijaksana, dan kebijaksanaan adalah kekayaan sejati yang paling berharga.