Pertanyaan retoris yang diajukan oleh Ayub dalam ayat ini menyentuh inti dari pencarian manusia akan pemahaman yang lebih dalam. Di tengah penderitaan dan kebingungan hidupnya, Ayub merenungkan sumber kebijaksanaan sejati. Ia menyadari bahwa kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang bisa ditambang dari bumi seperti emas atau permata, atau ditemukan di kedalaman laut. Keterbatasan kemampuan manusia untuk secara mandiri memperoleh pemahaman yang menyeluruh ini sangat jelas terasa.
Ayub 28:18 merupakan bagian dari serangkaian ayat yang mengeksplorasi kesia-siaan upaya manusia untuk menemukan kebijaksanaan di tempat-tempat yang salah. Manusia telah mencoba berbagai cara, dari menggali bumi hingga menjelajahi lautan, mencari harta yang paling berharga. Namun, Ayub dengan tegas menyatakan bahwa hikmat dan pemahaman tidak terletak di sana. Ini bukan berarti pengetahuan dunia tidak penting, tetapi ia ingin menegaskan bahwa ada dimensi kebijaksanaan yang melampaui pengalaman empiris dan intelek belaka.
Sumber Kebijaksanaan Sejati
Dalam konteks Kitab Ayub, pertanyaan ini sering kali mengarah pada pengakuan bahwa kebijaksanaan sejati berasal dari Tuhan. Hanya Sang Pencipta semesta yang memiliki pengetahuan absolut dan pemahaman yang sempurna mengenai segala sesuatu. Kitab Ayub kemudian melanjutkan dengan menyatakan, "Tuhanlah yang mengerti jalan kepadanya, dan Dialah yang mengetahui tempatnya. Karena Dialah yang memandang sampai ke ujung bumi, dan melihat segala sesuatu di kolong langit. Ketika Ia menetapkan bobot bagi angin, dan menimbang air dengan ukuran, ketika Ia menetapkan peraturan bagi hujan, dan jalan bagi kilat bergemuruh, maka Ia melihatnya dan menghitungnya; Ia mendalaminya dan menyelidikinya." (Ayub 28:23-27).
Ayub menyadari bahwa kekayaan materi, pencapaian duniawi, atau bahkan kecerdasan intelektual manusia tidak dapat menandingi nilai dari kebijaksanaan ilahi. Kebijaksanaan ini bukan sekadar kumpulan fakta atau pengetahuan teknis, melainkan pemahaman mendalam tentang kebenaran, keadilan, dan maksud ilahi di balik segala sesuatu. Mendapatkan kebijaksanaan ini bukanlah melalui usaha keras semata, melainkan melalui kerendahan hati dan pengakuan akan keterbatasan diri, serta keinginan untuk mencari dan menerima anugerah dari sumber yang Maha Kuasa.
Relevansi bagi Kehidupan Modern
Di era informasi yang begitu melimpah, kita seringkali tenggelam dalam lautan data dan pengetahuan. Namun, apakah semua informasi ini membawa kita pada kebijaksanaan sejati? Ayub 28:18 mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam pencarian sumber kebijaksanaan yang salah. Penting untuk terus belajar dan mencari pengetahuan, tetapi juga krusial untuk diingat bahwa pemahaman yang paling fundamental dan bermakna seringkali datang dari sumber yang lebih tinggi.
Mencari hikmat dan pemahaman ilahi berarti membuka hati dan pikiran untuk menerima kebenaran yang diungkapkan oleh Tuhan. Ini bisa melalui firman-Nya, melalui doa, melalui perenungan ciptaan-Nya, atau melalui bimbingan Roh Kudus. Tantangan Ayub menjadi pengingat bahwa harta yang paling berharga bukanlah apa yang bisa kita genggam atau kuasai, melainkan apa yang bisa kita terima sebagai anugerah dari Yang Maha Bijaksana. Pada akhirnya, pencarian akan hikmat adalah perjalanan menuju hubungan yang lebih intim dengan Tuhan, sumber segala kebaikan dan pengertian.